Mohon tunggu...
Alvia Azlina
Alvia Azlina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Senja Terjebak dalam Hutan

23 November 2018   22:20 Diperbarui: 23 November 2018   22:52 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahagia tidak terkira aku rasakan. Setelah bermacam promosi yang aku lakukan. Akhirnya, hari ini aku bisa menjadi pemandu wisata. Berbekal hobi travelling yang sering kujalani. Aku dengan semangat membuka biro wisata di daerah Indonesia Timur. Ada 6 orang yang ada di rombongan ini. Terlihat Pak Fred yang dari tadi tampak menjelaskan beberapa tumbuhan yang ada di hutan konservasi ini. Anggi dan Kanaya dari tadi mendengar penjelasan Pak Fred. Anggi dengan kamera di lehernya mengabadikan berbagai kegiatan yang dilakukannya. Aku jamin foto itu pasti akan di upload di Instagram. Keluarga kecil Pak Lukman juga tampak bahagia menikmati keasrian hutan. Bu Prita dan Kevin terlihat berpose menghadap Pak Lukman yang bersiap memotret.

Matahari hampir beranjak ke peraduan, aku mengajak semua orang untuk pulang. Perjalanan menuju penginapan masih jauh, sedangkan aku sudah lelah dan ingin segera menikmati empuknya kasur. Aku bersadar di kursi minibus dan mengamati orang di sekitarku. Beberapa orang terlihat memejamkan mata dan ada yang memainkan ponsel, mungkin mengedit fotonya agar terlihat indah. Aku pun tidak tahu.

Aku kembali melihat ke depan sembari menghela napas. Jalanan yang dilewati sekarang benar-benar buruk. Mobil yang kugunakan sudah cukup tua dengan pintu tengah sisi kanan yang tidak bisa dibuka, cat yang mengelupas, dan suara mesin yang terkesan kasar. Aku sadar bahwa mobil ini tidak layak untuk digunakan di kondisi jalan yang terjal. Namun, aku tidak punya pilihan untuk tidak menyewa minibus milik Pak Her. Beliau orang yang selalu kupercaya untuk menemaniku setiap berkunjung ke daerah ini. Selain itu, aku ingin membantu Pak Her untuk biaya sekolah anaknya yang masih sekolah.

Laju minibus tiba-tiba terhenti pelan. Pak Her tampak menghidupkan minibus. Namun, hanya terdengar ngaungan pertanda mogok. "Sepertinya, kita harus keluar Pak Her." Pak Her menganggukkan kepala tanda setuju. Aku meminta semua orang yang ada di minibus untuk keluar.

Pak Her membuka kap minibus dan mencoba melihat kerusakan. Beliau tampak mengotak-atik sebentar dan menatapku. "Ini saya gak bawa alat-alat," Pak Her menatapku terkesan takut. "Padahal sebelum berangkat sudah saya bawa ke bengkel." Aku seketika bingung menghadapi ini.

"Tapi ini beneran sebelum berangkat sudah di cek rutin, mulai mesin, ban, sampai saya cuci juga," Aku menganggukkan kepala dan mencari ponsel untuk mencari bantuan. "Setelah kejadian mogok ini tetap sewa minibus saya kan? Kamu gak trauma kan? Saya takut kamu gak mau nyewa lagi." Aku tersenyum menatap Pak Her yang mengkhawatirkan jika tidak mendapat penghasilan lagi.


Aku mencoba menghubungi temanku yang ada di penginapan. Baterai di ponselku hanya tersisa sedikit, aku khawatir tidak bisa meminta bantuan. Deringan pertama belum terangkat dan baru pada deringan kelima suara halo terdengar. Aku memberi informasi bahwa minibus yang kukendarai mogok. Dia berjanji akan datang dan membawa teknisi untuk membantu. Perjalanan kita masih jauh, perlu 31 km lagi baru sampai penginapan. Bahkan temanku mengatakan dia bisa saja sampai lokasi lebih dari 2 jam lagi.


"Mbak, aku takut. Gimana kalau bentar lagi ada hewan buas?" Suara Kanaya terdengar ketakutan. Aku berusaha menenangkan Kanaya yang dari tadi sudah menyalakan senter ponselnya. Anggi terlihat kesakitan, karena kakinya tadi terkilir sewaktu di konservasi. Pak Fred tiba-tiba menuju minibus dan mengambil kotak obat di tasnya. Lalu, memberi pertolongan kepada Anggi.


Aku baru ingat untuk menghubungi orang di pos penjaga hutan. Namun sinyal di ponselku tidak kunjung muncul. Bu Prita mendekatiku dan meminta nomer ponsel penjaga hutan. Beberapa detik kemudian terangkat dan Bu Prita memberikan ponselnya kepadaku. Aku mengatakan ke penjaga hutan bahwa sedang terjebak di tengah hutan. Beliau menjawab akan segera ke lokasi kami sekarang. Langit mulai sedikit menggelap dan tidak ada satu pun di antara kita yang membawa senter. Kanaya dan Kevin mulai terlihat ketakutan. Genggaman Kevin di tangan orang tuanya terlihat erat.  


"Tenang dulu, semua pasti ada solusi. Ponsel saya baterai masih banyak. Bisa buat nyalakan senter dalam waktu lama." Suara Pak Lukman cukup menenangkan kita semua.


Aku berpikir, jika hanya mengandalkan senter dari ponsel lama-lama bisa habis. Aku mulai mencari ranting-ranting kayu di sekitarku untuk dijadikan api unggun. Setelah lumayan banyak yang terkumpul, aku mendengar suara peluit. Kita semua saling berpandangan dan tidak tahu orang yang memainkan peluit. Setelah mendekat, aku tahu bahwa itu adalah petugas hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun