Pernahkah kalian ketika ingin melakukan sesuatu dan kalian mempunyai gambaran bahwa sesuatu tersebut berjalan dengan baik, karena hal tersebut sudah kalian persiapkan dari jauh-jauh hari, sudah diperhitungkan dengan matang, dan berekspetasi bahwa hal tersebut akan berjalan dengan baik dan lancar.Â
Penulis sendiri pernah bahkan sering, meskipun tidak semua hal itu berjalan dengan baik sesuai ekspetasi. Terkadang ekspetasi kita tidak sesuai dengan realita yang terjadi.
Ketika ekspetasi yang kita harapakan berbanding terbalik dengan realita yang terjadi, akan menjadikan kita tidak bahagia, cemas, bahkan stress dan timbul berbagai perasaan negatif lainnya. Pada hakikatnya emosi kita baik yang kita rasain positif atau negatif itu adalah hasil dari ekspetasi kita.
Kalau seandainya kita berekspetasi bahwa hal yang kita lakukan itu akan berjalan dengan baik, tapi pada akhirnya hal tersebut tidak berjalan dengan  baik maka kita akan merasakan kesedihan yang lebih dibandingkan ketika hal tersebut tidak berjalan dengan baik dan kita tiak mengekspetasikan apapun.
Dibandingkan kita berekspetasi hal-hal yang positif, Aliran stoicism justru mengangaggap bahwa ekspetasi yang terbaik adalah ketika kita memiliki ekspetasi yang terburuk dalam memandang masa depan.Â
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kita diharuskan berekspetasi buruk? Ketika kita berekspetasi buruk, nanti kita akan berfikir negatif akan masa depan. Sebenarnya tujuan dari berfikir negative itu, agar kita menjadi siap menghadapi hal buruk apapun yang akan terjadi.
Rumus yang sederhana yang dapat kita ambil dari aliran Stoicsm ini adalah kita membangun dan merencanakan sesuatu dengan sebaik mungkin, dengan berekspetasi atau melihat kemungkinan terburuknya, dan megetahui akiabat buruk yang ditimbulkan, sehingga kita sudah siap akan masalah yang akan kita hadapi. Dega kita megetahui resiko atau ekspetasi terburuk dari apa yang telah kita rencanakan, maka kita dapat belajar juga memperbaiki apa yang sudah terjadi.
Walaupun aliran/pandangan ini terkesan pesimis, justru sebaliknya suasana yang diciptakan akan positif bagi diri kita. Kita jadi lebih bisa untuk fokus ke proses dan hal yang akan kita jalani, dimana hasil dari apa yang telah kita usahakan tidak bisa kita kontrol atau tidak bisa kita tentukan. Sehigga ketika kita fokus terhaap proses, maka kita menjadi siap dengan segala kemungkinan yang terjadi ketika kita  berproses nantiya.
Padangan ini juga selaras dengan ajaran didalam agama kita, sebagaimana yang telah disebutkan dalam QS. surat al-Hadid ayat (22-23) Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab pada kitab Tafsir al-Misbah, menganjurkan untuk tidak terpengaruh dengan gemerlap duniawi, karena sesungguhnya ayat tersebut mengingatkan manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan setan menyangkut dampak negatif berinfak dan berjuang.Â
Sebab tiada suatu bencanapun yang menimpa kamu atau siapapun di bumi, seperti kekeringan, paceklik, longsor, gempa, banjir, dan tidak pula pada dirimu sendiri, seperti penyakit, kemiskinan, kematian, dan lain-lain, melainkan sudah tercatat dalam kitab yakni Lauh Mahfudh.
Maka Allah mengingatkan kepada makhluknya untuk tidak bersikap sombong hingga lupa daratan, begitu pula Allah juga tidak menyukai orang yang berputus asa akibat kegagalan. Karena sesungguhnya musibah itu bisa buruk dan bisa menyenangkan. Jadi QS. al-Hadid (57): 22-23 ini, menjelaskan hakikat musibah yang bertujuan menempa manusia dan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh.
Maka kita sebagai seorang muslim harus dapat mengelola apa yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi sebaik-baiknya, menjadikannya syukur, sabar, dan tawakkal aka napa yang telah kita usahakan. Dan janganlah bersedih atas apa yang telah terjadi, karena itu merupakan hak periogratif-Nya, kita berusaha Allah yang akan menentukan hal yang terbaik untuk kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H