LEPAS dari dua pasangan cagub-cawagub Ahok-Djarot dan Anies-Sandi, sebenarnya ada rivalitas lain di balik putaran final perebutan kursi Gubernur DKI tahun 2017. Yakni, tokoh-tokoh sentral di balik kedua pasangan tersebut. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK).
Mega adalah Presiden ke-5 RI yang juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Prabowo Subianto adalah mantan capres yang menjabat Ketua Umum DPP Partai Gerindra. Joko Widodo (Jokowi) Presiden ke-7 RI., dan Jusuf Kalla (JK), mantan capres yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Sebelumnya pada putaran pertama Pilkada DKI 2017, satu lagi tokoh sentral yang terlibat langsung adalah Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang mengusung putranya Agus Harimurti Yudhoyono menjadi cagub pesaing Ahok dan Anies. Namun, kiprah SBY terhenti setelah Agus kalah dalam perhitungan suara.
Kehadiran tokoh-tokoh sentral  itulah yang membuat dinamika Pilkada DKI 2017 ibarat pemilihan presiden. Setidaknya fakta menunjukkan ada tiga presiden yang terlibat yakni Mega, Jokowi  dan SBY. Selain itu ada dua mantan capres yang ikut berperan memenangkan masing-masing calon yakni Prabowo dan JK. Prabowo menjadi Capres pada Pilpres 2014, sedangkan JK menjadi capres pada 2009.
Sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang sedang berkuasa, peran Jokowi dan JK tidak nyata namun terasa. Jokowi diidentikan dengan Ahok, karena mereka berdua pernah berpasangan sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI.
Ahok dalam beberapa kesempatan memberi sinyal bahwa dirinya melanjutkan program-program yang pernah dia rumuskan dengan Jokowi. Bahkan, beberapa hasil pembangunan, seperti masjid di kantor Pemprov DKI dan Masjid Raya Hasyim Asyari yang baru saja diresmikan adalah program Jokowi-Ahok. Belum lagi proyek LRT dan MRT. Publik pun mengamini kedekatan Jokowi ke Ahok ketimbang Anies Baswedan yang dipecat dari jabatan menteri pendidikan.
Sedangkan JK, memang tidak identik dengan Anies Baswedan. Namun, dengan masuknya anggota keluarga JK sebagai tim sukses Anies, menjadi sinyal ada JK di balik Anies.
Keluarga dekat JK yang pasang badan di kubu Anies adalah saudara iparnya Aksa Mahmud, Bos pengusahan pendiri group usaha Bosowa dan putranya Erwin Aksa.
Kalangan politisi dan pengusaha nasional selama ini mengidentikkan Aksa Mahmud sebagai representasi JK. Dulu, saat JK masih menjabat Ketua Umum Partai Golkar, para politisi yang ingin mendapatkan tiket calon kepala daerah dari Golkar selalu melakukan pendekatan informal lewat Aksa. Makanya, Aksa sudah identik sebagai perpanjangan kepentingan JK di luar struktur formal. Jika Aksa sudah oke, sama saja dengan sudah ada restu dari JK.
Ponakan JK, Erwin Aksa yang juga masuk tim sukses Anies memiliki hubungan pertemanan dengan Cawagub Sandiaga Uno. Ini dimungkinkan karena Aksa yang dikenal sebagai pengusaha muda, sudah lama bersahabat dengan Sandi sejak mereka terlibat di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi)
Jadi memang, nuansa dukungan yang berbeda antara Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla kepada Ahok maupun Anies agak sulit terbantahkan. Sekalipun keduanya tidak pernah memberikan konfirmasi tentang hal tersebut.
Berbeda dengan Jokowi dan JK, Mega dan Prabowo secara kasat mata dan jelas terlibat langsung dalam memberi dukungan pada Ahok dan Anies. Hal ini bisa dimaklumi karena Mega lewat PDI Perjuangan menjadi salah satu partai dominan yang mendukung Ahok. Begitu juga Prabowo yang jelas-jelas mengusung Anies-Sandi lewat Partai Gerindra.
Perseteruan Mega dan Prabowo ini memang terbilang unik karena jika ditarik ke belakang, delapan tahun lalu, kedua tokoh ini adalah konco lawas. Setidaknya pada pilpres 2009, Mega dan Prabowo menjadi pasangan capres dan cawapres yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Sayangnya, perjuangan mereka berdua kandas oleh kedigdayaan SBY yang merupakan presiden incumbent saat itu.
Mega, Probowo dan SBY punya kisah unik juga. Â Ceritanya, saat Mega berkuasa, lahirlah SBY. Panggung Menko Polhukam yang dipercaya Mega kepada SBY, membuat dirinya dikenal luas oleh publik.
Setelah bermanuver, mundur dari jabatan Menko Polhukam, tak lama kemudian, SBY tampil menjadi rival Mega di ajang pemilihan presiden (pilpres) pada 2004. Hasilnya, menyakitkan bagi Mega. Dia kalah dari mantan anak buahnya SBY yang belakangan melahirkan Partai Demokrat sebagai tumpuan perjuangan politiknya.
Sejak itu, Mega dan SBY ibarat kutub mata angin. Jika SBY berada di timur, bisa dipastikan Mega berada di barat. Keduanya tak pernah bisa disatukan, baik sebagai pribadi maupun sebagai tokoh.
Perbedaan itu kian nyata dalam sikap politik yang dipilih PDI Perjuangan selama 10 tahun masa pemerintahan SBY yakni menjadi partai oposisi.
Di sela-sela ketidakharmonisan Mega-SBY, lahirlah Prabowo, mantan jenderal Kopassus yang belakangan terjun sebagai politikus. Era reformasi memuluskan langkah Prabowo membidani lahirnya Partai Gerindra. Lewat Gerindra, Prabowo berhasil masuk dalam pusaran elit yang ikut menentukan perpolitikan nasional.
Prabowo sendiri memiliki hubungan yang relatif baik dengan SBY. Keduanya telah bersahabat sejak menempuh pendidikan di Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Namun, dalam hal sikap politik, Prabowo cenderung dekat ke Mega. Partai milik Prabowo Gerindra juga memilih sikap oposisi selama pemerintahan SBY.
Sikap itu menjadi konkrit pada pemilihan presiden 2009, dimana Prabowo dan Mega bersekutu melawan SBY. Mega menjadi calon presiden, Prabowo calon wakil presiden. Sayangnya, kolaborasi Mega-Prabowo dipatahkan SBY sebagai incumbent. SBY kemudian melanjutkan jabatan Presiden RI untuk periode kedua. Mega dan Prabowo tetap memilih berada di luar kekuasaan.
Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Mega dan Prabowo bersekutu lagi. Kali ini mereka berdua melahirkan pasangan Jokowi - Ahok sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Jokowi "disorong" Mega, sedangkan Ahok di "disorong" Prabowo.
Sebaliknya rival abadi mereka, SBY, mengusung Fauzi Bowo (yang dulu dipromosikan Mega sebagai gubernur) sebagai calon gubernur dan Nachrowi Ramli sebagai wakil gubernur. Pertarungan Pilkada DKI saat itu dimenangkan Jokowi-Ahok, yang notabene representasi Mega-Prabowo. Jagoan SBY pun gagal menguasai DKI.
Rupanya, pertarungan Mega, SBY dan Prabowo belum berakhir. Pameo "tak ada kawan abadi dalam politik" berlaku juga pada Mega dan Prabowo. Pada pertarungan Pilpres 2014, keduanya tak lagi sejalan. Mega menjagokan Jokowi-JK untuk menantang Prabowo-Hatta Rajasa yang maju sebagai pasangan capres-cawapres. Hasilnya, Prabowo lagi-lagi mengalami kekalahan. Jokowi-JK meraih kursi presiden dan wakil presiden. Mega sukses sebagai Queen Maker.
Lucunya, di final Pilkada DKI 2017, persaingan Mega dan Prabowo terjadi lagi. Keduanya berhadap-hadapan lagi. Cuma kali ini beda dengan Pilpres 2014, JK dan kroninya merapat ke kubu Prabowo. Sedangkan Mega dan Jokowi diposisikan berseberangan dengan mereka.
Sejarah menunjukkan Mega selalu lebih beruntung dari Prabowo. Mega juga sudah pernah mengecap jabatan presiden, sedangkan Prabowo hanya baru di tahap capres.
Mega sudah melahirkan gubernur DKI dan presiden RI dengan tokoh sentralnya Jokowi. Sedangkan Prabowo masih sebatas ikut bersama melahirkan gubernur DKI yakni Jokowi namun belum pernah melahirkan seorang presiden.
Pilkada DKI 2017, juga menjadi momentum ajang balas dendam politik Mega kepada SBY. Setidaknya, cagub yang diusung Mega yakni Ahok mengungguli cagub yang diusung SBY dan membuatnya menjadi penonton di putaran final.
Apakah dewi fortuna masih akan berpihak kepada Mega? Ini yang menarik untuk disimak melalui hasil perhitungan suara putaran final Pilkada DKI 2017.
Selamat memilih….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H