Anies Baswedan memang pandai merangkai kata, jago retorika. Dia mengesankan diri sebagai intelektual yang santun dan beretika. Tak ada yang meragukan kelebihannya tersebut.
Tetapi, kalo soal kerja, tampaknya reputasi Anies patut dipertanyakan. Dia dipecat Presiden Joko Widodo dari jabatan menteri pendidikan.
Kita tentu tak habis pikir, kok bisa Presiden Jokowi memberhentikan Anies. Padahal, dia salah satu die hard pasangan Jokowi – JK saat menghadapi Prabiowo – Hatta Rajasa di Pilpres 2014. Padahal, sebelum jadi menteri pendidikan, dia lebih dulu dikenal sebagai aktivis pendidikan.
Apakah Anies Baswedan hanya pandai beretorika dan tak mampu mengimbangi Presiden Jokowi yang dikenal lebih suka bekerja ketimbang beretorika? Kita Cuma bisa mengira-ngira. Tentu yang tahu pasti hanyalah Presiden Jokowi sendiri.
Di Pilkada DKI, sosok Anies memang kontradiktif dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Gubernur incumbent ini dikenal sebagai sosok yang tidak pandai beretorika. Bahkan jauh dari kesan santun saat bertutur sapa.
Tetapi Ahok menunjukkan kelebihan dirinya sebagai seorang pekerja. Dia tahu secara detail apa yang dia kerjakan dan mau dibawa kemana Jakarta masa depan. Ahok telah melakukan banyak hal yang sebelumnya tak mampu dibuat oleh gubernur-gubernur pendahulunya.
Masyarakat Jakarta sudah tahu dan merasakan secara pasti apa saja yang sudah dibuat Ahok. Masyarakat Jakarta juga sudah menikmati keberhasilan program-program yang dibuat Ahok dalam kurun waktu singkat, setelah meneruskan kepemimpinan Jokowi. Tingkat kepuasan masyarakat Jakarta terhadap Ahok di angka 70 persen, menjadi bukti pengakuan kinerja Ahok.
Idealnya, dengan tingkat kepuasan di atas 70 persen menjadi modal besar bagi Ahok untuk memenangkan Pilkada DKI. Tetapi faktanya tidak. Ahok harus melewati proses pilkada dua putaran karena tidak berhasil meraih dukungan mayoritas 50 persen plus satu pada putaran pertama pilkada.
Inilah politik. Jalan Ahok memang tak semulus teori statistic. Guncangan politik akibat aksi massa yang mempersoalkan pidato Ahok di Kepulauan Seribu telah membuat Ahok dalam posisi sulit. Dia harus mengikuti proses hokum sebagai tersangka kasus penistaan agama.
Kendati belum ada putusan pengadilan terkait kasus tersebut, oknum-oknum yang selama ini menunjukkan sikap intoleran telah menggoreng isu ini demi mendikreditkan Ahok. Mereka menyebarluaskan sitigma Ahok sebagai seorang penista Alquran dengan berbagai aksi, baik damai maupun intimidasi.
Masalahnya, kelompok-kelompok intoleran ini “dekat” dan menjadi pendukung Anies walau tak pernah ada konfirmasi dari sang mantan Menteri Pendidikan itu. Kedekatan Anies dengan pentolan-pentolan kelompok intoleran terekam dari jejak media, baik cetak, elektronik, maupun digital yang menampilkan foto-foto kebersamaan mereka dalam sejumlah acara.
Kasus terakhir, kita menyaksikan bagaimana pasangan Ahok, Djarot Saiful Hidayat mengalami kejadian tidak mengenakkan sesuai salat Jumat di salah satu masjid di kawasan Tebet. Dan lucunya, pasangan Anies, Sandiaga Uno menanggapi kasus tersebut sebagai sesuatu yang terkesan biasa saja. Dia justru menyalahkan Djarot yang tidak koordinasi dengan tokoh masyarakat setempat jika mau salat Jumat di lokasi tersebut.
Lah Anies sendiri gimana? Jangan pernah berharap Anies akan memberikan komentar menanggapi kasus-kasus yang dilakukan oknum-oknum intoleran yang notabene pendukungnya itu. Saat beredar spanduk imbauan tidak mensalatkan pendukung Ahok yang meninggal dunia, dia juga diam seribu bahasa.
Intinya, Anies mau mengesankan diri tidak terkait dengan aksi-aksi intoleransi yang dilakukan para pendukungnya. Walaupun sebenarnya dia mendapatkan keuntungan banyak dari manuver-manuver mereka. “Ya terang saja Anies diam saja. wong dia diuntungkan,” ujar Kang Sobary, pada sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Kita memang rada ngeri-ngeri sedap melihat dinamika Pilkada DKI tahun ini. Agresifitas kelompok intoleran sangat terasa. Sampai-sampai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dikenal sebagai partai berbasis Islam Nasionalis lewat salah satu spanduknya menyatakan “Kami Tolak Cagub yang didukung kelompok radikal”.
Ketua Umum PPP Djan Faridz bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut apa yang dialami calon wakil gubernur DKI Jakarta itu menunjukkan radikalisme di ibu kota negara sudah semakin nyata ata di depan mata.
"Saya mengimbau warga NU untuk merebut kembali kepengurusan masjid-masjid di Jakarta dari kelompok Islam radikal. Pengusiran Djarot menunjukkan radikalisme sudah merusak tata krama dan sopan santun Islam di Jakarta," kata Djan usai menghadiri 'Jakarta Bersalawat' di GOR Ciracas, Jakarta Timur, Jumat (14/4/2017).
Bayangkan, sudah sampai segitunya. Padahal ini Jakarta, ibu kota Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dulu, sejak ditetapkan sebagai ibu kota Negara, semua orang sudah mafhum kalau nantinya Jakarta akan dibawa sebagai kota bertaraf internasional. Jakarta sejak awal telah didesain sebagai kota tempat hunian multi ras, multi suku, multi agama dan kota yang penuh keberagaman sesuai kebinekaan bangsa Indonesia.
Jadi pilihannya sekarang, apakah peradaban bangsa Indonesia ini mau dibawa maju ke depan atau mundur ke belakang? (Alvi JakXone)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H