Sedangkan pendukung Ahok – Djarot lebih mengusung keberagaman dan kekikinian. Keberagaman dalam arti agama dan suku. Bagi Ahoki – Djarot, Jakarta adalah simbol kebhinekaan semua agama dan suku yang hidup di Indonesia.
Jadi boleh dikata, pilkada putaran kedua di DKI sekarang ini, merupakan pertarungan antara mereka yang ingin mempertahankan keberagaman dengan berlandaskan bhineka tunggal Ika dengan mereka yang ingin membangun homogenitas dari sisi agama, tanpa membedakan suku.
Sebenarnya, pertarungan isu keragaman dan homogenitas dari sisi agama, sudah terjadi sejak Pilkada DKI Tahun 2007 lalu. Saat itu, Fauzi Bowo – Prijanto yang didukung 13 partai politik mengusung tema kampanye “Jakarta untuk Semua” untuk melawan cagub Adang Dorojatun – Dani Anwar yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai berideologi Islam. Adang – Dani mengusung tema perubahan dengan tujuan menciptakan Jakarta yang Moderen, Aman, dan Sejahtera. Hasilnya, Foke – Prijanto memenangkan Pilkada.
Pada Pilkada DKI putaran kedua tahun 2012, nuansa isu keberagaman vs homogenitas agama juga sangat terasa. Apalagi Jokowi – Basuki saat itu hanya didukung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Sedangkan Foke- Nara didukung koalisi partai gemuk yang saat itu menguasai pemerintahan di Pusat, yakni Partai Demokrat, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PKS. Namun, kemenangan berhasil diraih Jokowi – Ahok.
Nah, apakah kali ini, sejarah akan berulang kembali? Yang paling penting, Pilkada harus berjalan aman, jauh dari tindakan intimidasi dan transparan. Soal hasil kita serahkan saja pada masyarakat Jakarta yang memilih pada 19 April 2017. (Alvi JakXone)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H