Mohon tunggu...
Aksara Matahari
Aksara Matahari Mohon Tunggu... Model - Manusia

Hanyalah seorang manusia yang mencoba melestarikan Budaya Leluhur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korupsi pada Masa Jawa Kuna

14 Mei 2021   18:58 Diperbarui: 14 Mei 2021   19:02 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi Pada Masa Jawa Kuna

Mungkin korupsi sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara didunia yang tingkat korupsinya termasuk besar. Dari pejabat tinggi negara sampai bawahannyapun banyak yang telah menjadi aktor koruptor.Budaya korupsi tampaknya sudah mengakar dan tidak akan hilang diterpa zaman. Pada jaman dahulu kala, pada masa Jawa kuna, budaya korupsi ternyata sudah menggelora. Penyelewengan pajak yang merupakan sumber penghasilan kerajaan telah ditemukan. Dugaan penyelewengan tersebut tercatat dalam beberapa prasasti. Beberapa praktek korupsi tersebut dapat dilihat di Prasasti Kinwu swasti 829 aka (907 M), Prasasti Palepaan 829 aka (907 M), Prasasti Lutan 823 aka (901 M) dan masih ada beberapa prasasti lainnya.

Prasasti Kinewu Tampak Belakang (Dok. Kitlv picture)

Prasasti Kinwu yang dikeluarkan oleh r mahrja watukura dya balitu r iwara keawasamarottuga pada 829 aka (907 M) ini, memberikan keterangan yang menarik, yaitu hierarki dalam pemerintahan dan prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja dengan menyuap pejabat. Alasan pelaporannya si rma (kepala desa) tidak bisa membayar pajak (tan wna umijilakan drabyahaji) karena keberatan dengan pengukuran tanahnya.

Dapat dilihat bahwa pertama-tama rma desa Kinwu mengajukan protes kepada penguasa daerah yang membawahi desanya, yaitu Rakryn i Raaman dengan membayar sejumlah uang (suap). Protes tersebut tidak sempat diselesaikan karena penguasa tersebut telah meninggal (pja pwa rakryn ni raaman luma i....). Karena keburu meninggal si penguasa Raaman, akhirnya rma tersebut meneruskan protesnya kepada raja dengan perantaraan pratyaya dari wilayah Raaman.

Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak. Di ibu kota mereka menghadap (umataakan sambanya) Sa Pamgat Momahumah,  di Pamrata yaitu Pu Uttara dan Sang Pataya di Raaman yaitu Rake Hamparan. Pejabat itulah yang mengantar mereka menghadap raja untuk melapor.

800px-palepangan-inscription-20180620-142520-609e659d8ede487c887a3674.jpg
800px-palepangan-inscription-20180620-142520-609e659d8ede487c887a3674.jpg

Prasasti Palepangan (Dok. Wikimedia)

Prasasti Palepaan  yang dikeluarkan oleh Rakryn Mapati i Hino Pu Dakottama Bhubajra Pratipakakaya pada 829 aka (907 M) menceritakan seorang rmanta (kepala dusun) dari desa Palepaan mengadu kepada pihak berwenang karena terjadi kesalahan pengukuran terhadap sawah miliknya. Kala itu yang Bhagawanta Jyotisa yang mengukur tanah milik si rmanta tersebut. Luas sawahnya setelah diukur Bhagawanta Jyotisa dinilai seluas 2 lamwit sehingga si rmanta tersebut harus membayar pajak sebesar 6 dhraa perak.  Padahal menurut si rmanta, luas sawahnya hanya 1 lamwit lebih 7,5 tampah (mijilakanya lamwit 1 tampa 7 bla). Dia merasa sudah mengukurnya berulang kali. Maka melaporlah si rmanta kepada pejabat berwenang karena keberatan dengan jumlah yang harus dibayarkan dan memohon untuk diukur ulang dengan tampah haji (kinonakan sawanya uturan i tampa haji).

Setelah diperiksa kembali, akhirnya protes si rmanta dikabulkan dan tidak harus membayar pajak 6 dharana perak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun