Mohon tunggu...
Alve Hadika
Alve Hadika Mohon Tunggu... Buruh - Simpatisan Lingkungan

~

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menjadi Vegan (Film Seaspiracy) Vs Gemarikan (Program Kementerian Kelautan & Perikanan)

25 April 2021   22:13 Diperbarui: 25 April 2021   23:49 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Google (Edited by Photoshop)

Akhirnya sekarang muncul juga ide untuk mau nge-bahas sesuatu setelah udah setahun-an ngga nulis artikel. Ide itu muncul ketika beberapa minggu lalu saya menonton salah satu film dokumenter Netflix yang akhir-akhir ini ramai diperdebatkan, ya film Seaspiracy. Jadi ketahuan ya, butuh beberapa minggu dulu untuk membuat sebuah tulisan :) udah lama ga nulis, sekalinya nulis lama.

Haduh, gatel banget pengen bahas. Tapi disclaimer dulu ya, saya disini ga akan memihak ke sisi manapun, saya hanya sekadar ingin nge-beberin beberapa fakta yang ada di film dan sedikit saya compare dengan salah satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang pada akhirnya saya akan beropini sesuai dengan pengetahuan saya. Namanya juga artikel yakan, jangan se-serius membaca jurnal lah yaa.

Setelah nonton film Seaspiracy-nya Netflix, banyak banget pertanyaan muncul dalam benak saya. "Wih se-parah itu ya?" kalimat yang berkali-kali keluar dari mulut saya pas nonton film 1,5 jam ini. FYI bagi yang belum nonton, Seaspiracy ini adalah film dokumenter yang nyeritain tentang kondisi ekosistem laut terkini. Fokusnya adalah fakta dan isu kontroversial, khususnya terkait pemanfaatan alam berlebihan dan kerusakan lingkungan serta biotanya.

Spoiler dikit ya, Si Sutradara, Ali Tabrizi, mengawali film ini dengan cerita betapa seneng-nya dia dengan lumba-lumba dan paus. Namun, semakin dalam dia meng-explore dan mencari tahu tentang biota laut tadi, semakin banyak fakta-fakta menyedihkan yang dia temukan. Mulai dari eksploitasi lumba-lumba di Taiji, kerusakan laut dunia karena alat tangkap, limbah ikan salmon karena efek budidaya, perbudakan awak kapal di Thailand, sampai perburuan paus di Kepulauan Faroe. Artinya apa? Artinya hampir seluruh aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya laut ini bermasalah, kacau ya?

Intinya, film ini menjelaskan bahwa kondisi ekosistem laut saat ini sangat memprihatinkan, yang mana manusia-lah penyebabnya. Overfishing, industrialisasi berlebihan, pencemaran lingkungan, dan eksploitasi adalah beberapa praktek yang sudah menjadi hal biasa di kehidupan para pelaku komersil dunia kelautan dan perikanan. Kalau hal ini dibiarkan terus terjadi, maka diprediksi pada tahun 2048 tidak ada lagi kehidupan di laut, Kenapa? Karena rantai makanannya udah ga sistematis lagi alias berantakan, yang menyebabkan punahnya satu-persatu biota laut tadi. Tidak ada kehidupan di laut? Otomatis manusia pun tidak bisa bertahan hidup -begitu penjelasan filmnya.

Serunya, Ali melakukan wawancara dengan berbagai narasumber, mulai dari pakar konservasi lingkungan, kelautan, sampai ke pemerintah serta pegiat dan aktivis konservasi. Beliau mendiskusikan kondisi tersebut dan meminta solusi agar ekosistem laut ini tetap terjaga dan hidup sebagaimana mestinya. Nah uniknya, setelah alternatif budidaya ikan malah menghasilkan banyak limbah dan "pemanfaatan ikan secara berkelanjutan" hanyalah overfishing yang dikemas lebih pro-lingkungan, di akhir film justru yang menjadi konklusi untuk menghindari kepunahan ekosistem laut adalah dengan berhenti untuk mengkonsumsi ikan, alias menjadi vegan. Kok agak aneh ya konklusinya?

Pada akhir film juga ada penjelasan dari salah satu pakar bahwa jika manusia berhenti mengkonsumsi ikan, justru ia akan terhindar dari kandungan-kandungan polutan logam berat yang tidak baik seperti merkuri dan sebagainya. Senyawa plastik yang beracun dan bahan kimia juga sangat dekat dengan kehidupan ikan, karena ikan-lah tempat berakhirnya polutan-polutan tersebut. Artinya, alih-alih ingin mencari kandungan gizi yang baik, ternyata kondisi ikan pun malah tidak aman untuk dikonsumsi.

Jadi, berhenti nih berarti kita makan ikan? Eits tunggu dulu.

Masyarakat Indonesia tentu sudah familiar dengan program Gemar Makan Ikan, atau dikenal dengan Gemarikan. Sebuah program yang diinisiasi oleh KKP sejak tahun 2004 ini adalah program yang mengajak masyarakat untuk meningkatkan konsumsi ikan, bahkan di gadang-gadang sebagai program percepatan penurunan stunting dan gizi buruk. Program yang secara langsung melibatkan masyarakat dan telah dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia ini juga bertujuan untuk menyejahterakan nelayan dan pembudidaya perikanan. Tak hanya itu, Gemarikan merepresentasikan banyak pihak seperti pemerintah, masyarakat pembeli ikan/rumah tangga, korban PHK/UMKM baru, dan BUMN sebagai operator, artinya cukup banyak yang diuntungkan dengan adanya program ini. Intinya, semua pihak yang terlibat ini diberikan berbagai kemudahan serta disediakan wadahnya untuk menaikkan penghasilan dan konsumsi ikan di Indonesia. Tujuannya, karena dinilai lebih sehat, menguntungkan dari berbagai aspek, dan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki.

"makan ikan, cerdas!" begitu kata Eks Menteri KKP, Edhy Prabowo, dalam rangka mengajak masyarakat untuk tau betapa banyaknya manfaat dari mengkonsumsi ikan. Sayang sekarang beliau sudah terjerat kasus ya.

Dari kedua penjelasan diatas, Seaspiracy dan Gemarikan, ketemu ironinya? Masa engga ya :)

Yaa terlepas dari isu Si Sutradara memang seorang aktivis vegan yang telah mengkampanyekan hal ini dari cukup lama, saya sebagai simpatisan lingkungan merasa cukup tersadarkan juga oleh film Seaspiracy ini. Melihat data biota yang semakin menipis, laut yang semakin rusak, overfishing dimana-mana, industrialisasi perikanan yang mengenyampingkan banyak hal, dan kegiatan destruktif lainnya, membuat saya berfikir gimana caranya kita bisa lepas dari kondisi terancam ini, walaupun sebenarnya sudah terjawab di akhir film yakni berhenti mengkonsumsi ikan, tapi apa bisa? Atau apa benar itu solusinya?

Saya pribadi merasa solusi yang ditawarkan film ini sangat tidak holistik dan tidak sistemik. Hanya fokus pada penyelematan ekosistem, tidak memikirkan bagaimana nelayan, bagaimana pengusaha tambak, bagaimana pecinta seafood, atau bahkan bagaimana negara yang kehidupan masyarakatnya bergantung pada ekspor perikanan. Masa mereka dikesampingkan begitu aja? Engga dong.

Ada sebuah teori yang cukup familiar di dunia pemanfaatan alam bernama trade off theory, teori ini cukup realistis menurut saya. Teori ini menjelaskan jika ingin mendapatkan sesuatu maka juga sepaket dengan pengorbanan dan kehilangan sebagai pertukaran. Sehingga, dapat diimplementasikan dengan: jika ingin memanfaatkan laut tentu ada beberapa aspek yang mungkin akan menjadi korban. Nah, sekarang tugasnya adalah bagaimana aspek yang menjadi korban ini dapat direkayasa sebaik mungkin, sehingga pengorbanan yang dilakukan tidak begitu besar dan kehilangan yang dirasakan tidak begitu berarti. Karena rasanya cukup sayang jika kekayaan alam ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.

Sayang dong ya, KKP udah menciptakan program sedemikian rupa dengan tujuan yang luar biasa, namun sirna karena ternyata kondisi ekosistem laut sudah tidak sehat untuk menjadi sumber pangan manusia.

Menurut saya, industrialisasi perikanan tetap menjadi hal yang harus selalu diupayakan. Tidak mungkin kita bisa setiap hari mengkonsumsi ikan jika tidak ada industrialisasi. Dan industrialisasi adalah salah satu faktor yang membuat turunnya harga ikan. Namun, kontrol dan pembaharuan teknologinya yang harus menjadi perhatian. Sekali lagi, kontrol dan teknologi. Tidak akan ada istilah overfishing jika penangkapan ikannya dilakukan di tempat yang layak dan over juga populasinya. Tidak akan ada istilah pencemaran jika penanggulangan limbahnya dilakukan secara rapih tanpa merusak ekosistem. Tidak akan ada istilah limbah budidaya jika teknologi yang digunakan dapat mereduksi semua zat negatif yang dihasilkan. Namun, jika kontrol dan teknologi ini masih belum teratur dan memadai, saya setuju dengan redaksi "kita berhenti makan ikan". Berhenti dalam arti sementara, hingga kondisi laut sudah direstorasi seperti semula. Karena untuk apa kita berupaya hidup sehat, menjalankan program pemerintah, memaksimalkan sumber daya, tapi justru diri kita yang menjadi korbannya.

Selain itu, ada solusi lain yang biasa disarankan oleh peneliti perikanan. Apakah MSY (Maximum Sustainable Yield)? Bukan, karena hanya mengedepankan aspek biologi saja. Atau MEY (Maximum Economic Yield)? Bukan, karena hanya memadukan dua aspek saja yakni ekonomi dan biologi. Lantas apa? Ada konsep yang jauh lebih komprehensif yang pernah saya baca di jurnal teman-teman UGM, yakni OSY (Optimum Sustainable Yield). Konsep ini mengusung pemanfaatan sumber daya perikanan lebih luas yakni mempertimbangkan aspek biologi, sosial, ekonomi, dan politik. Walaupun sejatinya ketiga konsep ini mempunyai kekurangan dan kelebihan, namun menurut saya OSY dapat menjadi win-win solution dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan. Kelemahannya adalah cukup sulitnya mendefinisikan unsur-unsur yang terlibat, tapi dengan adanya simulasi model pemanfaatan, kelemahan tadi dapat diminimalisir. Nah, dengan adanya konsep ini, harapannya semua rumusan masalah yang dijelaskan diawal dapat dikontrol dengan baik, faktor kerusakan lingkungannya dapat diperhitungan dari awal, manajemen penangkapannya dapat di atur terlebih dahulu, serta kepentingan dan keuntungannya dapat dirembukkan bersama. Yang pada akhirnya semua aspek berperan dalam pemanfaatan ini, mulai dari peneliti, nelayannya, aktivis, bahkan pengusahan serta pemerintah. Tujuannya satu, agar pemanfaatan dapat dilakukan secara efektif dan maksimal. Efektif dalam arti hanya melakukan penangkapan sesuai dengan porsinya agar pemanfaatannya bisa longlast. Maksimal dalam arti dapat benar-benar mengupayakan potensi alam secara komprehensif, tidak hanya ikan namun juga biota lainnya.

Pertanyaannya, apakah sejauh ini Indonesia, khususnya KKP, telah menjalankan konsep-konsep ini? Telah mengontrol aktivitas pemanfaatan ikan sehingga tidak ada lagi overfishing? Telah menggunakan teknologi terbaru yang ramah lingkungan sehingga adanya jaminan tidak ada pencemaran? Serta telah mengedepankan konsep OSY yang melibatkan banyak aspek dalam pemanfaatan?

Atau, hanya menggali potensi alam tanpa pertimbangan dengan dalih memaksimalkan dan menyejahterakan?

Layak atau tidaknya program Gemarikan, dan pertanyaan masih bisa atau tidaknya kita makan ikan, akan terjawab juga jika pertanyaan-pertanyaan diatas bisa kita ketahui secara transparan :)

Sekian.




Alve Hadika, S.Kel., M,Si.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun