1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Beberapa tahun setelah 1984, unsur hara di tanah rusak, produktivitas menurun, namun masih diakali dengan rekayasa pupuk dan bahan kimia lainnya, sehingga poduktivitas pun mulai naik kembali.
Setelah tahun 1984, penyakit padi semakin beragam (maraknya hama wereng salah satunya), kebutuhan operasional bertani (pembelian pupuk x, y, z, dan padi jenis x, y, z) semakin tinggi, sedangkan luas sawah tidak bertambah, lama kelamaan petani miskin lagi. Karena keuntungan yang didapatkan menjadi semakin menipis oleh biaya operasional tadi. Sehingga analoginya adalah; politik beras yang dicanangkan pada tahun 1960an, menghasilkan kemiskinan pada petani. Siapa yang menginisiasi? Negara.
Kembali kita bahas soal wereng. Keinginan untuk meningkatkan produktivitas padi, otomatis tentu menaikkan jumlah wereng. Naiknya jumlah wereng tentu mengganggu produktivitas padi. Sampai muncul teknologi pestisida dan insektisida.
Ada yang menarik disini, terkait dengan kemampuan adaptasi hewan. Kita analogikan dengan; dulu, ngga ada nyamuk yang tahan dengan AC, sehingga AC nyala, nyamuk gaada. Namun sekarang, nyala atau ngga nyala-nya AC, tidak berpengaruh terhadap aktivitas nyamuk, nyamuk tetap hidup. Sama halnya dengan wereng, adanya pestisida dan insektisida tetap bisa membuat wereng beradaptasi dan hidup. Sebuah penelitian di daerah Indramayu, menyebutkan bahwa justru wereng ditemukan di sawah yang menggunakan pestisida, malah tidak ada wereng di sawah organik. Masalahnya dimana? Ya, di keinginan menaikkan produktivitas padi dengan bahan kimia tadi. Apalagi jika membahas padi hampa dan padi kerdil efek dari wereng, mungkin akan jauh lebih panjang tulisan saya.
Seandainya semuanya dilakukan dengan organik saja, mungkin tidak perlu ada teknologi yang bernama pestisida dan teman-temannya. Wereng dan hama lainnya, dapat diatasi dengan predator alaminya.
Yang harus dilakukan sekarang adalah, petani harus back to nature. Namun apakah masih bisa? Sulit. Kenapa? Karena kondisi tanah kita sudah dicampuri dengan bahan-bahan kimia yang membuat produktivitas menjadi menurun dan tidak sehat, unsur haranya sudah rusak. Ini lah bom waktu yang dulu dilakukan, namun efeknya baru memuncak sekarang, setelah kesadaran baru muncul. Belum lagi masalah eksklusivitas dari padi organik dan padi tercampur bahan kimia, muncul stratifikasi, dimana tadinya semua padi adalah padi organik.
Saya bukan ahli pertanian ataupun ahli kimia, karena mungkin saja ada kekurangan bahkan kesalahan dari data-data yang dipaparkan, ini dapat dikoreksi oleh ahlinya. Namun, hal yang ingin digarisbawahi disini adalah; betapa kebijakan yang dijalankan seyogyanya benar-benar harus melalui fase uji, riset, studi mendalam, pendapat para pakar dan ahli, dan pengkayaan lain, sehingga kebijakan-kebijakan ini tidak menjadi bom waktu untuk masa depan, dan tidak menjadi kepuasan dan capaian sesaat pada hari ini. Kebijakan kebijakan baru seperti perpindahan ibukota negara, serangkaian RUU KUHP yang baru, dan lain-lain, semoga telah melewati fase tadi dan semoga tidak merugikan masa depan bangsa.
Tidak hanya sebercanda mengejar swasembada atau capaian-capaian lainnya namun mengorbankan aspek pertanian masa depan. Semoga para pelaku pengambil keputusan (mulai dari Presiden, Menteri, DPR dan seterusnya) merupakan orang-orang yang profesional dalam mencetuskan kebijakan. Karena kita mengharapkan kesejahteraan jangka panjang, bukan kepuasan dan kemakmuran sementara.
Saya berasumsi, jika kebijakan yang dijalankan hari ini, atau yang akan diputuskan nanti, diambil berdasarkan pertimbangan dan pengkayaan yang matang, maka bom waktu seperti kasus hama wereng ini tidak akan terjadi lagi kedepannya.
***
Alve Hadika