"Mawar makasar apipa?" (Mau makan apa?)
"Selomita ultramen!" (Selamat ulang tahun!)
"Ogut enggak berani bokis sama bokap nyokap ogut." (Aku enggak berani bohong sama papa mama aku)
"Sokap sih yang ngadu domba ogut sama dia?" (Siapa sih yang ngadu domba aku sama dia)
"TBL sama lirikannya!" (Takut Banget Loh sama lirikannya!)
"Jangan ngaret datangnya ygy." (Jangan telat datangnya ya ges ya)
SEJUMLAH perkataan di atas yang menggambarkan betapa beragamnya bahasa gaul yang dijumpai dalam percakapan sehari-hari kita, khususnya anak muda dengan generasi berbeda. Bahasa selalu berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan zaman.Â
Hal ini menunjukan bahwa bahasa dapat sejalan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam perkembangan zaman, yakni ideologi, budaya dan teknologi, yang nantinya akan memiliki pengaruh pada bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat. Bahasa juga dapat dikembangkan sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi di masyarakat.
Namun, seiring berjalannya waktu pun, bahasa jadi sarana untuk ajang mengembangkan budaya populer yang sedang tren sehingga kurang menjunjung tinggi bahasa Indonesia yang baik dan benar.Â
Padahal, tak soal jika mengikuti budaya yang populer di masyarakat sehingga bakal jadi sarana adaptasi anak-anak muda untuk mengembangkan pergaulan sehari-hari, namun harus diperhatikan apakah bahasa yang dituturkan sudah baik atau malah sebaliknya.
Semisal kita jumpai bahasa gaul yang dinamai "Bahasa Jaksel". Maksud dari Jaksel adalah Jakarta Selatan yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, seperti "Sometimes aku perlu banget quality time dengan my family", atau "You want to know banget sama my personal life". Bahasa seperti itu, yang beberapa waktu belakangan, sempat populer di kalangan anak muda kawasan itu yang rata-rata pada melek terhadap bahasa internasional, khususnya bahasa Inggris. Alhasil, bahasa yang diutarakan atau dilontarkan menjadi 'campur aduk' dan bagi yang tidak terbiasa akan kurang sedap didengar dan membingungkan.