Jogja sebagai rumah kedua saya. Meskipun saya tercatat sebagai warga kota Tangerang Selatan, saya lebih suka hidup di kos di Jogja, senang-senang dengan teman, berkuliah atau main. Seiring berjalannya waktu, sayapun mencari rejeki di ibukota.Â
Berkuliah di Jogjakarta selama 7 tahun menjadikanPekerjaan pertama saya berlokasi di Jakarta Selatan. Adik-adik saya langsung menggoda saya dengan aksen Jaksel. Ada beberapa hal yang membuat saya kaget dalam beberapa bulan pertama saya di Jakarta, yaitu:
1. Diteriaki satpam stasiun KRL
Terakhir kali saya naik KRL, saya ingat ada kambing dan ayam yang naik ke gerbong. Adapula pedagang asongan yang berjualan di dalam gerbong. Setelah itu saya agak trauma untuk naik KRL. Ketika saya kembali ke Jakarta, stasiun dan KRL sudah sangat modern.
Namun karena banyaknya penumpang, saat hendak menggunakan eskalator untuk keluar peron atau pindah peron, satpam meneriaki penumpang,"yang kanan jalan, yang kanan jalan!" untuk mengingatkan orang-orang yang berada di lajur kanan eskalator untuk berjalan. Saya sungguh kaget mendengarnya, serasa sedang ospek kampus.
2. Starling, pedagang kopi "Starbucks keliling"
Pedagang kopi keliling ini adalah penyelamat para pekerja di ibukota karena harganya yang murah. Dengan menggunakan sepeda mereka berkeliling jalan-jalan utama Jakarta sampai ke trotoarnya. Pada akhir pekan, saya yakin peminat starling ini meningkat tajam. Saat saya di Jogja, pedagang minuman hanya ada di burjoan, jarang yang keliling.
3. Malu bertanya sesat di jalan, apalagi di jalan sempit
Bagi saya, aroma ambisius di Jakarta bisa dicium sejak saya menginjakkan kaki disana. Disana orang tidak banyak ramah tamah seperti di tanah "Jawa". Jika tidak bertanya atau tidak ada inisiatif, kita hanya akan menunggu dan seringnya tersesat. Apalagi di Jakarta, banyak sekali jalan gang yang super kecil dan masih terbaca di aplikasi peta. Â Gang yang hanya muat 1 motor pun masih terbaca. Luar biasa.
4. Jarang ada "burjo"
Saat di Jogja, biasanya "burjo" menjual nasi orak-arik dan sejenisnya. Di Jakarta, sulit sekali menemukan warung sejenis "burjoan" Jogja. Biasanya terpisah antara warteg dan warung yang jual bubur kacang hijau. Hanya satu kali saya melihat ada pedagang penjual bubur kacang hijau dengan tenda di Jakarta.
5. Harga gorengan
Biasanya di Jogja dulu, dengan uang Rp2.000 kita bisa mendapatkan 3 gorengan. Di Jakarta, umumnya saya mendapatkan 3 gorengan dengan harga Rp5.000. Hanya sekali saya menemukan penjual gorengan yang menjual gorengannya seharga Rp500 per buah, namun ya ukurannya kecil.
Sekian yang bisa saya tuangkan dari pengalaman saya selama beberapa bulan hidup di Jakarta. Saya pribadi menyukai pemandangan kota Jakarta saat malam hari, saat billboard menyala terang dan angin sepoi-sepoi. Mengitari Bundaran HI juga hal yang sudah sangat menyenangkan bagi saya, anehnya. Dibandingkan Monas, Bundaran HI lebih berkesan bagi saya. Hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H