makanan cepat saji tidak lagi sekadar tentang kebutuhan pangan, melainkan telah berkembang menjadi sebuah tren yang dipicu oleh viralitas konten media sosial. Saya melihat bahwa masyarakat, terutama generasi muda, kini semakin terpengaruh untuk mengonsumsi makanan cepat saji bukan karena faktor rasa atau kebutuhan, melainkan karena dorongan dari konten-konten viral yang tersebar di platform media sosial. Proses pengambilan keputusan konsumsi makanan tidak lagi murni didasarkan pada pertimbangan gizi atau kualitas, namun lebih didorong oleh estetika visual dan popularitas yang diciptakan melalui unggahan-unggahan menarik di media sosial.
Dalam era digital saat ini, fenomena konsumsiMedia sosial telah menjadi ruang transformatif yang secara signifikan memengaruhi pola konsumsi makanan. Korelasi antara penggunaan media sosial dan peningkatan konsumsi makanan cepat saji menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Melalui platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, konten makanan cepat saji dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan daya tarik visual yang luar biasa. Foto-foto makanan dengan komposisi warna menggoda, video slow-motion yang memperlihatkan tekstur makanan, serta endorsement dari influencer telah mengubah persepsi masyarakat terhadap makanan cepat saji.
Penelitian menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap konten makanan melalui media sosial dapat meningkatkan hasrat untuk mengonsumsi. Algoritma media sosial yang cerdas mampu mengenali preferensi pengguna dan secara konsisten menampilkan konten makanan yang sesuai dengan minat mereka. Hal ini menciptakan semacam "lingkaran konsumsi" di mana semakin banyak seseorang melihat konten makanan, semakin besar pula keinginan untuk mencobanya.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2022), media sosial menjadi konten yang paling banyak diakses, dengan 89,15% dari seluruh pengguna internet mengunjungi halaman media sosial. Sebagian besar pengguna media sosial adalah individu berusia 14-25 tahun yang disebut sebagai "Digital Natives".
Media sosial bisa menjadi sarana untuk menjalin pertemanan, berbagi informasi, sampai promosi bisnis. Namun, konten yang paling banyak diakses masyarakat Indonesia adalah seputar hiburan.
Fenomena ini terekam dalam laporan hasil survei Populix yang bertajuk Omnichannel Digital Consumtion Report 2023.
Menurut laporan tersebut, sebanyak 76% responden paling sering mengakses konten hiburan di media sosial, baik itu berupa foto maupun video.
Kemudian ada 67% responden yang sering mengakses konten review produk, dan 63% mencari inspirasi kuliner. Ada pula 62% yang sering mengakses konten seputar berita viral melalui media sosial.
Hasil survei Kurious dari Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan cepat saji alias fast food lebih dari satu kali dalam sepekan. Perempuan hampir mendominasi diseluruh kelompok intensitas waktu dalam mengonsumsi makanan cepat saji selama sepekan. Tercatat, perempuan yang mengonsumsi fast food sebanyak satu kali dalam seminggu sebanyak 55.5%, sedangkan pria hanya 44.5%. Lalu, perempuan yang mengonsumsi makanan cepat saji 2-3 kali seminggu mencapai 53.8%, sedangkan laki-laki 46.2%. Namun, perempuan yang mengonsumsi fast food sebanyak 4-5 kali seminggu hanya 29.4%, sisanya laki-laki sebanyak 70.6%. Kemudian, perempuan kembali mendominasi pada intensitas mengonsumsi fast food sebanyak 6-7 kali seminggu sebanyak 57.1%, sedangkan laki-laki 42.9%.
Saya berpendapat bahwa viralitas konten makanan cepat saji telah menciptakan sebuah fenomena konsumsi yang artifisial dan potensial merugikan kesehatan masyarakat. Keputusan mengonsumsi makanan tidak lagi didasarkan pada pertimbangan nutrisi, melainkan lebih pada aspek estetika dan tren sosial. Media sosial telah berhasil mentransformasi makanan cepat saji dari sekadar produk konsumsi menjadi sebuah statement gaya hidup yang performatif.
Ada beberapa alasan kuat yang mendasari pendapat saya: