Pertama, media sosial telah menciptakan semacam "desain psikologis" yang mengubah persepsi masyarakat terhadap makanan cepat saji. Konten-konten viral dirancang sedemikian rupa untuk memicu respon emosional dan hasrat konsumtif. Fotografer makanan, content creator, dan marketing digital telah mahir menciptakan visual yang menggoda, menggunakan teknik pencahayaan, komposisi, dan edit yang membuat makanan terlihat jauh lebih menarik daripada realitasnya.
Kedua, fenomena influencer marketing telah secara signifikan memengaruhi pola konsumsi. Selebgram dan content creator dengan jutaan pengikut kerap menampilkan makanan cepat saji sebagai bagian dari gaya hidup modern dan kekinian. Mereka tidak sekadar memperlihatkan makanan, tetapi juga menjualnya sebagai sebuah pengalaman dan status sosial. Ketika seorang influencer yang diidolakan mengonsumsi sebuah produk makanan, pengikutnya cenderung akan meniru tanpa kritik yang mendalam.
Ketiga, algoritma media sosial dirancang untuk menciptakan ketergantungan. Setiap kali kita melihat konten makanan yang menarik, otak kita melepaskan dopamin—zat kimia yang terkait dengan kesenangan dan reward. Semakin sering kita terpapar konten semacam ini, semakin besar pula keinginan untuk mengalami sensasi yang sama melalui konsumsi makanan tersebut.
Terakhir, viralitas konten makanan cepat saji telah membentuk semacam "budaya instan" di mana segala sesuatu dinilai dari kecepatan, kemudahan, dan daya tarik visualnya. Padahal, kesehatan membutuhkan pertimbangan yang jauh lebih kompleks dariposekan sekadar mengikuti tren.
Melalui opini ini, saya ingin mengajak masyarakat untuk lebih kritis dan sadar akan manipulasi visual yang diciptakan media sosial, serta mengembalikan keputusan konsumsi makanan pada pertimbangan kesehatan dan nutrisi sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H