Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BRI Itu Beri, Asa Nasabah Non Rajin

3 Januari 2018   13:20 Diperbarui: 4 Januari 2018   17:02 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata, saya dengan BRI berkelindan sejak zaman SD hingga zaman now. Saya pernah ikut Tabanas, Simpedes, Simaskot, dan Britama kini. So  pasti, diiringi lagu "Menabung" karya Titiek Puspa: Bing beng bang yok kita ke bank/ Bang bing bung yok kita nabung/ Tang ting tung hey jangan dihitung/ Tau tau kita nanti dapat untung ...

Keruan saja rumah dikelilingi tiga 'kantor' BRI, dengan jarak paling jauh 1,1 km (menurut Google Maps). Olala, setahu saya, ada tiga relasi yang jadi 'orang dalam' BRI. Sayang, yang terdekat kerjanya 'muterin'  ATM BRI se-Jabar. Jadi, sangat jarang bertemu, padahal adik!

Jika saya disuruh/diminta cerita pengalaman atau opini terkait keberadaan BRI yang berusia 122 tahun ini, pasti isinya subjektif, ditambah keawaman saya perihal BRI, apalagi soal perbankan secara umum. Itulah, awalnya, saya ingin meng-konfirmasi artikel ini sebelum dikirim ke Kompasiana; namun dengan ketiga relasi itu, saya 'lost contact'.

Karena itu, saya mencoba se-objektif mungkin berdasarkan 'dongeng' pengalaman saya berinteraksi dengan BRI disertai anotasi 'language game'  seputar slogan dan visi BRI.

Foto: Dok. Pribadi.
Foto: Dok. Pribadi.
Melayani Setulus Hati

Setahu saya, fungsi 'bank' adalah solisitor (solicitor), yakni menghimpun dan menyalurkan uang masyarakat (nasabah). Fungsi ini sungguh krusial, sehingga dalam memori saya tertanam film-film Hollywood yang merekam posisi bank, jelas menggoda gerombolan koboi (desperado) hingga mobster  untuk 'berkunjung' ke 'rumah uang'.

Konon, kejahatan bank robber  kekinian dilakukan para white-collar(spekulan saham, valas, bahkan hacker  uang elektronik, bitcoin).

Fungsi bank itu, saya identikkan dengan fungsi dakwah atau politik. Kata kunci dalam dakwah ataupun politik adalah 'proselytize', yakni menarik masuk, menghimpun simpati sekaligus menggunakan 'kekuatan' yang terhimpun itu sesuai tujuan (platform).

Jadi, fungsi bank itu sungguh signifikan. Pertanyaannya: apa tindak-lanjut BRI setelah dana masyarakat (nasabah) terkumpul? Di sini, saya ingin mengingatkan 'hanya' 1/8 bagian untuk BRI, sebagai pengelola ('amil), jika merujuk pembagian sedekah/zakat dalam Islam (lihat Q.s., Quran surat ke-9: 60).

Ada klaim, BRI sebagai bank 'milik' pemerintah (state bank) 'terbesar' di Indonesia yang senantiasa berinovasi menghadirkan 'layanan' dan 'produk' perbankan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Benarkah? Menurut Wikipedia (Akses: 29/12/2017), saham Pemerintah RI di BRI sebesar 56,75% dan Publik: 43,25%.

Mungkin, maksud 'terbesar' itu jika dibandingkan dengan bank BUMN/D lainnya, ya; dan iya untuk eksistensi di seluruh pelosok Indonesia. Tetapi untuk 'kepemilikan', kiranya back to khittah  menjadi milik 'priyayi' (priayi) lagi; saya miris elitis atau pilih kasih, misal dalam produk 'pinjaman'.

Evaluasi 'kepemilikan' (modal awal) BRI itu urgen karena akan berimbas kepada layanan dan produk BRI, terlebih jika berslogan "Melayani Setulus Hati" dan--saya merasa ganjil--bervisi menjadi bank 'komersial' 'terkemuka' yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah dengan melakukan kegiatan perbankan yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat Indonesia hingga ke pelosok negeri.

Soal slogan BRI: "Melayani Setulus Hati", saya jadi teringat dengan semboyan Kementerian Agama (Kemenag) RI: "Ikhlas Beramal" yang bermakna bahwa karyawan Kemenag dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat ibadah dengan tulus ikhlas. Ada kesamaan kata 'tulus', menurut KBBI, berarti: sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas. Namun jelas berbeda input-output  matra BRI (ekonomi) dengan Kemenag (sosio-religius).

Kesamaan lainnya: tahun '1946' bagi Kemenag sebagai tahun berdiri (tanggal 3 Januari ini tepat 72 tahun, dikenal "HAB" = Hari Amal Bakti); sedangkan bagi BRI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946 Pasal 1, BRI sebagai Bank Pemerintah pertama di Republik Indonesia; meskipun HUT BRI pada 16 Desember 1895 (selanjutnya lihat Sejarah BRI, misalnya di https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Rakyat_Indonesia).

Soal visi BRI, terus terang, saya ingin gelitiki copy-writer  iklan atau konseptor visi BRI karena terdapat makna toja'iyah  (Sunda: bertolak belakang) atau missing-link  antara slogan ('tulus') dengan visi ('komersial'). Dampaknya akan memunculkan gap  di tataran praksis karena, konsekuensi lanjutannya, BRI harus mempertanggungjawabkan kata 'terbesar' dan 'terkemuka'. Kalau tidak, BRI 'sama' saja dengan bank lain (negeri atau swasta).

Nanti, misalnya, mendapat stigma jargon: "The first, not the best!"  Jika rasio kepemilikan BRI itu semakin seimbang malah ada kemungkinan mengikuti arus 'privatisasi', maka asumsi saya: kata 'tulus' itu akan terkontaminasi oleh hukum ekonomi pertama: 'untung'. Jadi, bukan untuk 'melayani' atau 'ibadah' lagi, tapi akan mencari keuntungan ('komersial'). Ini sah, terlebih BRI bukan bank 'gelap'!

Indikator keuntungan (baca: kepuasan nasabah) yang 'adil', mohon maaf saya akan mengutip jargon canda dari sebuah stasiun radio FM swasta tahun 1990-an: "Anda puas, kami lemas!" (Anda = nasabah, kami = BRI). Pertanyaannya:  di mana 'kepuasan' Masyarakat (non nasabah) karena BRI milik Pemerintah?

Dimohon jangan mengklaim lagi semisal dengan program CSR (corporate social responsibility) BRI yang telah/akan dilakukan, tetapi mohon self-explanatory: "Mengapa BPR/Kosipa partikelir semakin menggurita dan rentenir semakin merajalela?"

Foto: Dok. Pribadi.
Foto: Dok. Pribadi.
Jangan Menutup Mata dan Telinga

Sesuai slogan dan visi BRI, saya memohon BRI untuk tidak menutup mata dan telinga. Pertama, mayoritas masyarakat Indonesia ialah orang Islam. Saya, khususnya, menganggap BRI sebagai bank 'konvensional'. Tetapi saya berbaik sangka, BRI terus berinovasi, salah satu yang saya apresiasi adalah bahwa BRI melibatkan Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. dan Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat di PT Bank BRI 'Syariah'. Kita sedang menunggu kiprah-kolaborasi BRI dengan kedua Beliau ini dalam frasa ke 'seluruh pelosok Indonesia'.

Kedua, di lingkungan kita, di mana-mana, terdapat istilah faktual: bank keliling, bank 'suku' tertentu, atau tukang kredit dengan asosiasi daerah 'anu'; di KBBI tercantum bank 'plecit'; kemudian sebuah artikel ditulis oleh Satgas Anti Rentenir Diskop Pemkot Bandung menyebutkan istilah bank 'gelap' dan menganalisis sanksi pidana bagi rentenir.

Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998 tentang Perbankan: "Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16, ..."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa yang dilarang adalah perbuatan menghimpun dana dari masyarakat. Sedangkan perbuatan yang dilakukan pihak yang menyalurkan atau meminjamkan uang dengan bunga (rentenir) tidak dilarang dalam UU Perbankan.

Karena itu, rentenir tidak dapat dikualifisir sebagai suatu tindak pidana perbankan, dengan kata lain tidak menjalankan usaha bank 'gelap' ... Perbuatan pinjam meminjam uang disertai bunga adalah suatu perbuatan yang legal atau perbuatan tidak terlarang yang tidak dapat dipidana (Sumber: https://www.satgasantirentenir.com/dapatkah-rentenir-dipidana/, Akses: 2/1/2018).

Peringatan Presiden Jokowi agar masyarakat tidak meminjam uang ke rentenir pun dipungkas dengan kalimat: "Hindari yang namanya rentenir!" (Sumber: https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2017/11/09/127532/presiden-ingatkan-warga-jangan-pinjam-uang-ke-rentenir.html, Akses: 3/1/2018).

Akhirnya, 'senasib' dengan peringatan Pemerintah bahwa merokok itu berbahaya. Rentenir dan rokok bebas-merdeka berkeliaran di antara kita, tidak ada sanksi pidana kok!

Nah, yang saya inginkan dari CSR BRI itu adalah 'balap' dengan mereka (rentenir partikelir). Mungkin, solusi yang mendesak adalah ditambah/diperbanyak karyawan BRI yang mengejar 'bola' seperti mereka. Semoga rekrutmen karyawan BRI meminimalisasi pemeo: "Ah ribed, mending  ke Bank Keliling saja!"

Dan ketiga, mohon maaf saya mengingatkan, ada 'royalti' abadi pada nama "BRI": Bank 'Rakyat' Indonesia. Ini taken for granted, ini takdir, ini anugerah alam.

Royalti itu sungguh 'mahal'. Ini dua alasan mengapa saya memilih BRI: (1) ada 'RI' (Rakyat Indonesia)-nya = masalah nasionalisme dan (2) memang BRI ada di mana-mana = masalah kepraktisan yang ujung-ujungnya masalah solidaritas juga karena mayoritas relasi saya ialah nasabah BRI.

Kata kunci dari ketiga kasus 'asa' saya tersebut adalah 'karaos'  (Sunda: terasa, ter-rasa) bukan kahartos  (Sunda: dimengerti) tok.  Tidak ada dikotomi nasabah dengan non nasabah, apalagi jika nasabah BRI, tetapi Sang Nasabah itu merasa tidak dilayani dan tidak dianggap sama sebagai Rakyat Indonesia; misalnya 'dipersulit' dalam meminjam 'uangnya'. Wah!

Jika bermain kata (language game), bagi saya, BRI itu 'beri'. "Ingat BRI, ingat beri." "Beri jangan minta kepada USA!" kata JFK  kepada rakyatnya. "Ingat beri, ingat cinta," ya cinta itu hanya memberi bukan saling memberi dan menerima karena bukan sedang berbisnis. Jika membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ada 8 (delapan) makna dari kata 'beri' itu. Wow!

Dari kecil kita mulai menabung

Supaya hidup kita beruntung

Mau keliling dunia ada uangnya

Juga untuk membuat istana

Hm, sungguh mudah-enak dinyanyikan, tapi sungguh susah-enek dilakukan. Menabung itu harus demi mengantisipasi masalah hidup; meminjam itu terpaksa demi produktivitas kerja; serta membayar itu wajib demi ketenangan jiwa dan keluarga.

Ujungberung, 3 Januari 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun