Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BRI Itu Beri, Asa Nasabah Non Rajin

3 Januari 2018   13:20 Diperbarui: 4 Januari 2018   17:02 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Evaluasi 'kepemilikan' (modal awal) BRI itu urgen karena akan berimbas kepada layanan dan produk BRI, terlebih jika berslogan "Melayani Setulus Hati" dan--saya merasa ganjil--bervisi menjadi bank 'komersial' 'terkemuka' yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah dengan melakukan kegiatan perbankan yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat Indonesia hingga ke pelosok negeri.

Soal slogan BRI: "Melayani Setulus Hati", saya jadi teringat dengan semboyan Kementerian Agama (Kemenag) RI: "Ikhlas Beramal" yang bermakna bahwa karyawan Kemenag dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat ibadah dengan tulus ikhlas. Ada kesamaan kata 'tulus', menurut KBBI, berarti: sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci); jujur; tidak pura-pura; tidak serong; tulus hati; tulus ikhlas. Namun jelas berbeda input-output  matra BRI (ekonomi) dengan Kemenag (sosio-religius).

Kesamaan lainnya: tahun '1946' bagi Kemenag sebagai tahun berdiri (tanggal 3 Januari ini tepat 72 tahun, dikenal "HAB" = Hari Amal Bakti); sedangkan bagi BRI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946 Pasal 1, BRI sebagai Bank Pemerintah pertama di Republik Indonesia; meskipun HUT BRI pada 16 Desember 1895 (selanjutnya lihat Sejarah BRI, misalnya di https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Rakyat_Indonesia).

Soal visi BRI, terus terang, saya ingin gelitiki copy-writer  iklan atau konseptor visi BRI karena terdapat makna toja'iyah  (Sunda: bertolak belakang) atau missing-link  antara slogan ('tulus') dengan visi ('komersial'). Dampaknya akan memunculkan gap  di tataran praksis karena, konsekuensi lanjutannya, BRI harus mempertanggungjawabkan kata 'terbesar' dan 'terkemuka'. Kalau tidak, BRI 'sama' saja dengan bank lain (negeri atau swasta).

Nanti, misalnya, mendapat stigma jargon: "The first, not the best!"  Jika rasio kepemilikan BRI itu semakin seimbang malah ada kemungkinan mengikuti arus 'privatisasi', maka asumsi saya: kata 'tulus' itu akan terkontaminasi oleh hukum ekonomi pertama: 'untung'. Jadi, bukan untuk 'melayani' atau 'ibadah' lagi, tapi akan mencari keuntungan ('komersial'). Ini sah, terlebih BRI bukan bank 'gelap'!

Indikator keuntungan (baca: kepuasan nasabah) yang 'adil', mohon maaf saya akan mengutip jargon canda dari sebuah stasiun radio FM swasta tahun 1990-an: "Anda puas, kami lemas!" (Anda = nasabah, kami = BRI). Pertanyaannya:  di mana 'kepuasan' Masyarakat (non nasabah) karena BRI milik Pemerintah?

Dimohon jangan mengklaim lagi semisal dengan program CSR (corporate social responsibility) BRI yang telah/akan dilakukan, tetapi mohon self-explanatory: "Mengapa BPR/Kosipa partikelir semakin menggurita dan rentenir semakin merajalela?"

Foto: Dok. Pribadi.
Foto: Dok. Pribadi.
Jangan Menutup Mata dan Telinga

Sesuai slogan dan visi BRI, saya memohon BRI untuk tidak menutup mata dan telinga. Pertama, mayoritas masyarakat Indonesia ialah orang Islam. Saya, khususnya, menganggap BRI sebagai bank 'konvensional'. Tetapi saya berbaik sangka, BRI terus berinovasi, salah satu yang saya apresiasi adalah bahwa BRI melibatkan Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. dan Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat di PT Bank BRI 'Syariah'. Kita sedang menunggu kiprah-kolaborasi BRI dengan kedua Beliau ini dalam frasa ke 'seluruh pelosok Indonesia'.

Kedua, di lingkungan kita, di mana-mana, terdapat istilah faktual: bank keliling, bank 'suku' tertentu, atau tukang kredit dengan asosiasi daerah 'anu'; di KBBI tercantum bank 'plecit'; kemudian sebuah artikel ditulis oleh Satgas Anti Rentenir Diskop Pemkot Bandung menyebutkan istilah bank 'gelap' dan menganalisis sanksi pidana bagi rentenir.

Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998 tentang Perbankan: "Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16, ..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun