Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Radikalisme dan Sempalan

25 April 2017   20:45 Diperbarui: 26 April 2017   05:00 2827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana dan aksi radikalisme mewabah, terlebih ketika ‘panci’ meledak di Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung; hampir menggagalkan kunjungan kenegaraan Raja Salman dari Arab Saudi dan Michael Essien bergabung dengan Persib.

Residu bom panci itu membekas di benak warga Kota Bandung, bahkan menjadi vektor syak-wasangka ke wilayah Indonesia lainnya jika dikaitkan dengan ajang pilkada serentak sejak 2015 dan kompak ngeri apabila agama dikaitkan dengan politik.

BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Kemenag RI telah wara-wiri mengantisipasi radikalisme beserta derivasinya. Adapun penulis melakukan studi literer secara sekilas. Diperoleh hipotesis bahwa radikalisme itu kategori ‘wacana’, sedangkan sempalan kategori ‘aksi’. Peristiwa bom panci merupakan sempalan dari radikalisme alias pemahaman melahirkan aksi teror.

Pertanyaan asasi muncul, apa radikalisme? Tulisan ini bermaksud menjawab secara denotatif. Semoga tulisan ini tidak menambah fobia, setelah kita diserang teror bom, tuan hoax, dan harga céngék (cabe rawit).

Level Apresiasi

Radikalisme’: paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik. ‘Sempalan’: penggalan (misal tentang penyiaran dsb suatu peristiwa); pecahan (tentang suatu organisasi dsb) (KBBI). Etimologi radikalisme: radix (Inggris: akar, bilangan dasar).

‘Apresiasi’ mempunyai lima tingkat: (l) penikmatan, (2) penghargaan, (3) pemahaman, (4) penghayatan, dan (5) implikasi (P. Suparman Natawidjaja, 1982). Untuk semua level ini, ‘radikalisme’ tidak salah untuk dikonsumsi secara pribadi dan untuk kerja ilmiah, hatta konservatisme, formalisme, fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, komunisme, ateisme, atau komodifikasi agama. Karena bagaimana bisa meng-counter serangan isme kalau tidak belajar isme tersebut?

Ketika isme/doktrin disebarkan ke awam, apalagi terjadi aksi yang menyimpang dari pemahaman isme (‘sempalan’), inilah yang salah dan disebut: heresi/bid’ah, sinkretis, distorsi, ateis/kafir, fanatis/intoleran, teroris, kriminalis/anarkis (koruptor), atau psikopat/yang teralienasi (paedofil).

Berdasarkan konstitusi seperti aktualisasi Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, misi Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka dibentuk BIN, Densus Anti-Teror, atau BNPT.

Satu dari tiga tugas BNPT adalah melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Bidang penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.

Buku Deradikalisasi Pemahaman al-Quran dan Hadis (2008) karya Nasaruddin Umar, pernah menjabat Wamenag RI dan menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal kini, representatif diajukan. Buku ini mengajak kita untuk memahami teks al-Quran dan al-Sunnah dengan metodologi tafsir yang komprehensif. Misal mempertimbangkan aspek sebab turunnya ayat al-Quran dan Hadis tentang ‘jihad’, sehingga identifikasi ayat tidak tekstual, rigid, dan implikasinya tidak melahirkan perilaku anarkis, intoleran, dan cenderung destruktif.

Deradikalisasi

Tokoh Presiden AS (Jamie Foxx) di film White House Down omong: “Kemiskinan menyebabkan peperangan.” Sekjen PBB (Antonio Guterres) omong: “Islamfobia pemicu terorisme.” Mahfud MD omong: “Ketidakadilan penyebab radikalisme dan intoleran.” Jika semua tokoh omong dan sepakat bahwa faktor radikalisme adalah masalah sosial dalam berbangsa dan bernegara, maka solusi tinggal dindaklanjuti oleh yang berwenang, yakni ‘deradikalisasi’. Sedangkan faktor sempalan adalah masalah individual/komunal dalam memahami sebuah isme alias reaksi kontekstual dari pembiaran faktor isme tadi.

Misal masalah kemiskinan, dengan pendekatan etimologis, ‘miskin’ (Arab: sakana) itu diam, tentu orang diam harus digerakkan, bukan ‘dipelihara’ seperti dengan Bantuan Langsung Tunai; program sekarang: Bantuan Pemerintah Non Tunai. Agar kemiskinan ini tidak menimbulkan reaksi, Pemerintah hendaknya menjadi inisator simpatik seperti tidak pura-pura tidak tahu ada orang miskin. Karena di masyarakat, harga cabe rawit naik pun adalah masalah besar; juga level peduli sesama saudara terdekat (tetangga) yang memprihatinkan, sehingga menjadi bukti bahwa manfaat pajak dan zakat belum dimaksimalkan.

Dengan membaca kembali sejarah, deradikalisasi dapat dilakukan. Studi kasus komunisme bagi negara Rusia, China, dan Korea Utara adalah cocok dan menguntungkan. Tetapi aksi komunisme yang mewujud PKI adalah tidak cocok dan merugikan bagi sejarah Nasional. Kasus personal ateisme, dengan menjadi ateis adalah manifestasi menuhankan dirinya. Ketika manusia menjadi tuhan merupakan aksi blunder, merepotkan diri-sendiri saja!

‘Formalisme’ agama menjadi stigma, bahkan ‘formalitas’ agama. Padahal dalam sejarah kemunculannya, agama itu pernah memiliki identitas ‘formal’ alias resmi atau standar.

Fatwa sesat MUI kepada Ahmadiyah dan Syi’ah, namun aksinya masih ada di Indonesia, tentu sebuah ‘lomba’ kebajikan sekaligus kebijakan, yakni sungguh bajik jika non-Ahmadiyah dan non-Syi’ah ber-introspeksi dalam keberagamaannya, misal disisipi kata ‘proselytize’ (dakwah); sebaliknya sungguh bijak jika penganut Ahmadiyah dan Syi’ah ber-ekstrospeksi bahwa aksinya tidak cocok di Indonesia. Mungkin, cocok di negeri asalnya, India dan Iran.

Kemudian password ‘penanggulangan’ dari Pemerintah itu harus sinkron dengan Rakyat yang ingin aktualisasi Semangat Reformasi (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi), sehingga mengurangi miskomunikasi seperti pada program standarisasi khatib dan pesantren dari Kemenag RI yang keburu viral plus mengundang hoax, padahal masih tahap menjaring aspirasi dari ulama dan ormas Islam.

Khusus Jawa Barat, dari 52.476.473 penduduk, 97 %-nya ialah muslim (Wikipedia, 1/7/2016) tentu meradang jika khatib-nya dicurigai sebagai penyebar kebencian dan pesantren-nya dicurigai sebagai nest of radicalism. Karenanya, wacana Deradikalisasi Nusantara layak dibumikan seperti Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur; dengan catatan: tanpa dikotomi agama dengan politik sebagaimana terkandung pada Sila Pertama Pancasila.

Survei PBB (2017) terhadap 155 negara anggota menghasilkan Norwegia sebagai negara paling bahagia, Indonesia ke-81. PBB menggunakan parameter seperti pendapatan domestik bruto per kapita, bantuan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan menentukan pilihan hidup, kedermawanan, dan persepsi korupsi. Survei membuktikan pula bahwa di negara-negara Barat yang kaya, kesehatan mental dianggap penentu paling significant kebahagiaan pribadi dibanding pendapatan, pekerjaan, atau kesehatan fisik. Berarti, goal ini sejalan dengan Nawacita atau program Revolusi Mental yang diilhami misi lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Karena itu, membangun mental/jiwa harus didahulukan karena urgent.

Bacaan saya ini seperti diarahkan kepada kesimpulan bahwa zenit masalah kerukunan intra dan antar-umat beragama—setelah ikhtiar dengan tangan dan lisan berupa uswah hasanah—bagi orang beriman adalah istirja’ (innaa lillaahi wa inna ilaihii raaji’uun) berupa doa: semoga segala niat, cara, dan tujuan kita selalu sinergis serta selalu diridai Tuhan YME, tanpa aksi teror, apalagi anarkis, sehingga orang beragama itu personifikasi rahmatan lil’aalamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun