Deradikalisasi
Tokoh Presiden AS (Jamie Foxx) di film White House Down omong: “Kemiskinan menyebabkan peperangan.” Sekjen PBB (Antonio Guterres) omong: “Islamfobia pemicu terorisme.” Mahfud MD omong: “Ketidakadilan penyebab radikalisme dan intoleran.” Jika semua tokoh omong dan sepakat bahwa faktor radikalisme adalah masalah sosial dalam berbangsa dan bernegara, maka solusi tinggal dindaklanjuti oleh yang berwenang, yakni ‘deradikalisasi’. Sedangkan faktor sempalan adalah masalah individual/komunal dalam memahami sebuah isme alias reaksi kontekstual dari pembiaran faktor isme tadi.
Misal masalah kemiskinan, dengan pendekatan etimologis, ‘miskin’ (Arab: sakana) itu diam, tentu orang diam harus digerakkan, bukan ‘dipelihara’ seperti dengan Bantuan Langsung Tunai; program sekarang: Bantuan Pemerintah Non Tunai. Agar kemiskinan ini tidak menimbulkan reaksi, Pemerintah hendaknya menjadi inisator simpatik seperti tidak pura-pura tidak tahu ada orang miskin. Karena di masyarakat, harga cabe rawit naik pun adalah masalah besar; juga level peduli sesama saudara terdekat (tetangga) yang memprihatinkan, sehingga menjadi bukti bahwa manfaat pajak dan zakat belum dimaksimalkan.
Dengan membaca kembali sejarah, deradikalisasi dapat dilakukan. Studi kasus komunisme bagi negara Rusia, China, dan Korea Utara adalah cocok dan menguntungkan. Tetapi aksi komunisme yang mewujud PKI adalah tidak cocok dan merugikan bagi sejarah Nasional. Kasus personal ateisme, dengan menjadi ateis adalah manifestasi menuhankan dirinya. Ketika manusia menjadi tuhan merupakan aksi blunder, merepotkan diri-sendiri saja!
‘Formalisme’ agama menjadi stigma, bahkan ‘formalitas’ agama. Padahal dalam sejarah kemunculannya, agama itu pernah memiliki identitas ‘formal’ alias resmi atau standar.
Fatwa sesat MUI kepada Ahmadiyah dan Syi’ah, namun aksinya masih ada di Indonesia, tentu sebuah ‘lomba’ kebajikan sekaligus kebijakan, yakni sungguh bajik jika non-Ahmadiyah dan non-Syi’ah ber-introspeksi dalam keberagamaannya, misal disisipi kata ‘proselytize’ (dakwah); sebaliknya sungguh bijak jika penganut Ahmadiyah dan Syi’ah ber-ekstrospeksi bahwa aksinya tidak cocok di Indonesia. Mungkin, cocok di negeri asalnya, India dan Iran.
Kemudian password ‘penanggulangan’ dari Pemerintah itu harus sinkron dengan Rakyat yang ingin aktualisasi Semangat Reformasi (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi), sehingga mengurangi miskomunikasi seperti pada program standarisasi khatib dan pesantren dari Kemenag RI yang keburu viral plus mengundang hoax, padahal masih tahap menjaring aspirasi dari ulama dan ormas Islam.
Khusus Jawa Barat, dari 52.476.473 penduduk, 97 %-nya ialah muslim (Wikipedia, 1/7/2016) tentu meradang jika khatib-nya dicurigai sebagai penyebar kebencian dan pesantren-nya dicurigai sebagai nest of radicalism. Karenanya, wacana Deradikalisasi Nusantara layak dibumikan seperti Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur; dengan catatan: tanpa dikotomi agama dengan politik sebagaimana terkandung pada Sila Pertama Pancasila.
Survei PBB (2017) terhadap 155 negara anggota menghasilkan Norwegia sebagai negara paling bahagia, Indonesia ke-81. PBB menggunakan parameter seperti pendapatan domestik bruto per kapita, bantuan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan menentukan pilihan hidup, kedermawanan, dan persepsi korupsi. Survei membuktikan pula bahwa di negara-negara Barat yang kaya, kesehatan mental dianggap penentu paling significant kebahagiaan pribadi dibanding pendapatan, pekerjaan, atau kesehatan fisik. Berarti, goal ini sejalan dengan Nawacita atau program Revolusi Mental yang diilhami misi lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Karena itu, membangun mental/jiwa harus didahulukan karena urgent.
Bacaan saya ini seperti diarahkan kepada kesimpulan bahwa zenit masalah kerukunan intra dan antar-umat beragama—setelah ikhtiar dengan tangan dan lisan berupa uswah hasanah—bagi orang beriman adalah istirja’ (innaa lillaahi wa inna ilaihii raaji’uun) berupa doa: semoga segala niat, cara, dan tujuan kita selalu sinergis serta selalu diridai Tuhan YME, tanpa aksi teror, apalagi anarkis, sehingga orang beragama itu personifikasi rahmatan lil’aalamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H