Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makar

4 Desember 2016   11:59 Diperbarui: 5 Desember 2016   02:02 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu Makar?

Definisi ‘makar’ harus disepakati. Apakah meliputi sejak tindakan hati (niat atau motif), sehingga yang dapat ‘membacanya’ adalah aparat hebat? Apakah diskusi di ruang kuliah hingga obrolan di kedai kopi itu juga makar? Atau apakah menunggu dulu aksi makar dan menimbulkan korban? Tentu semua pihak tak menginginkan, yakni pihak makar tidak ingin aksinya diketahui sebagai aksi makar dan pihak aparat tentu bermoto pencegahan lebih baik daripada pengobatan.

Membaca UUD 1945 Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang­-undang;” kemudian turunannya, Pasal 28 huruf A hingga J, mengenai HAM, akhirnya ‘dibatasi’ Negara atas nama hukum demokratis.

Nah, membaca itu, jika semua Rakyat tahu bahwa suara-nyalah sebagai hukum tertinggi di negeri ini, maka tidak disebut ‘makar’, bahkan ‘kudeta’. Bagaimana dengan kasus kudeta di Turki kemarin? Dalang yang dituduh makar, ndak ngaku kok alias nggak merasa kudeta. Bagaimana juga dengan kasus ‘Supersemar’? Saya pikir tidak dilakukan (hanya) seorang jenderal. Jangan lupa pula bagaimana Ken Arok yang melahirkan keturunan para penguasa Nusantara dari Jawa.

Jadi, saya melihat kemunculan istilah ‘makar’ ini sinkron dengan rasa ‘ketakutan’ rezim penguasa (baca: bukan Negara). Mungkin, untuk tidak menimbulkan korban dari Rakyat, dengarlah suaranya. Namun faktanya, Rakyat kita memang kudu diprovokasi (baca: diingatkan) dan justru—yang lupa—penguasa tidak mendengarkan suara hatinya sebagai Rakyat, padahal tinggal silaturahmi dan musyawarah.

Penguasa lebih mempunyai peluang untuk menyelenggarakan silaturahmi dan musyawarah secara nasional. Ini urgen daripada belum apa-apa Rancangan KUHP telah dituduh semakin membatasi ‘kemerdekaan’ Rakyat.

Makar adalah …

Etimologi ‘makar’ belum saya ketahui. Ini definisi ‘makar’ menurut KBBI: ‘ma-kar’ [nomina] 1 akal busuk; tipu muslihat; 2 perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dsb; dan 3 perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Menurut id.wiktionary.org, ‘makar’ [adjektiva] itu kaku dan keras (tentang buah-buahan); bangkar (seperti tubuh orang mati). Sinonimnya, ‘kudeta’ (perebutan kekuasaan [pemerintahan] dengan paksa) atau ‘subversi’ (gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang).

Adapun ‘makar’ menurut KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tercantum pada Pasal 104 hingga 107; sedangkan pada Rancangan KUHP, makar dirumuskan dalam Pasal 222 hingga 227.

Dari beberapa artikel di situs-situs yang saya buka, tindakan dikategorikan ‘makar’ apabila sesuai dengan maksud Pasal 53 dan 87 KUHP, yakni adanya suatu permulaan dari tindakan pelaksanaan atau telah dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari si pembuat makar.

Makar atau kudeta pada dasarnya sebuah istilah yang dapat digunakan secara bergantian. Namun secara umum, ‘kudeta’ lebih merujuk pada istilah politik sementara ‘makar’ merujuk pada istilah hukum. Jika merujuk pada berita-berita media beberapa waktu lalu, tindakan orang yang ‘dianggap makar’ barulah sebatas rencana untuk mengadakan demonstrasi-demonstrasi. Untuk itu, rumusan dan syarat delik (tindak pidana) ini tidak dapat terpenuhi (Sumber: www.hukumonline.com)

Tafsir Dewasa

Jika ‘dewasa’, kita tafsirkan ‘yang mau bertanggung jawab’, maka yang ‘dianggap’ dan yang ‘menganggap’ makar harus bertanggung jawab; serta jangan lupa, Rakyat diberitahu secara fenomenologis bahwa selalu ada satu delik, dua tafsir; dan nanti, sejarah mencatat siapa dewasa yang sesungguhnya. Sayangnya, saya membaca (hanya) per rezim; ganti rezim, ya ganti pula catatan sejarah!

Terus terang, saya tidak mempelajari trending topic makar terkini. Tetapi, mari membaca sejarah (pohon) Bangsa dan Negara kita. Saya yakin kita semua mempunyai ‘benang merah’ yang sama, meskipun dengan perspektif yang berbeda karena kita berpijak pada ranting yang berbeda.

Begitu banyak isu berseliweran. Justru tanpa isu pun, saya menjadi miris dengan ‘devide et impera’ gaya baru alias penjajahan ekonomi di era global kaitannya dengan posisi Indonesia. Kita ngeri jika saudara sebangsa dianggap musuh, sedangkan orang asing (baca: orang rakus) dianggap saudara. Saya ingin Indonesia mengadu-domba ‘kekuatan dunia’ kalau tak menjadi penebar kasih sayang di seluruh alam (rahmatan lil ‘aalamiin). Saya ingin kita menjadi the right man on the right place; jangan apes menjadi the right man on the wrong place atau GR (gede rasa) menjadi the wrong man on the right place.

Karena itu, saya hanya berharap pada kata ‘silaturahmi’ dan ‘musyawarah’ yang saya yakini dapat terselenggara secara nasional (hanya) oleh legowo sang penguasa, daripada berbiaya besar seperti menunggu tumbal Rakyat. Na’uudzubillaahimindzaalik.

Bandung, 4 Desember 2016.

c.q. jangan saling klaim, mending bekerja sama hadapi musuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun