Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bandung Raya Menangis

13 November 2016   22:38 Diperbarui: 13 November 2016   23:33 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota itu Padat-Sumpek-Mampet-Macet

Martinus Antonius Weselinus Brouwer (1923-1991) – fenomenolog, psikolog, dan budayawan Belanda menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Indonesia (Kota Bandung) dan harus kembali ke negeri Belanda kemudian meninggal karena permohonannya untuk menjadi WNI tidak dikabulkan – ialah yang menulis: “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” (pernah menjadi grafiti di depan Alun-alun Bandung, Jl. Asia-Afrika).

Bisa jadi, Brouwer terkesan dengan gumujeng (senyum, keramahan) orang Sunda; juga wanoja lenjang (gadis semampai) yang diabadikan dalam sebuah lagu Sunda pop: Di sisi Gunung Manglayang, aya mojang Priangan nu lenjang

Ada benarnya karena denyut kehidupan Kota Bandung yang ‘asli’ adalah kehidupan gang (identik dengan padat-sumpek). Di era 1970-an, testimoni saya di daerah Astanaanyar, Pagarsih, atau Tamansari, nama gang lebih dikenal daripada nomor RT dan RW; hingga awal 1990-an ‘budaya gang’ ini berlaku hingga pinggiran Kota (dulu, Kotamadya/Kabupaten Bandung) seperti di Ujungberung atau Cimindi hanya gara-gara kasus ‘punten’ (permisi) tidak disebutkan bisa menyulut ‘perang’ antar-gang atau antara pribumi dengan pendatang!

Tata-titi ke-Sunda-an terasa ampuh kala itu, meskipun bisa jadi terkandung pula deviasi atau dekadensi makna adat Sunda.

Bagaimana dengan sekarang? Saya kira, semua menyaksikan bahwa kita kini ‘generasi menunduk’; yang lewat atau yang dilewati, semua fokus ke gawainya. Jika terjadi tawuran, selalu bermuatan politis atau ekonomis kok! Apakah Brouwer akan menulis: “… dan Tuhan pun menangis” (?).

Selain itu, mengapa kita menangis untuk Bandung Raya? Saya pernah googling tanggal 13/7/2016: “gempar dan heboh kota bandung 2015-2016”; diperoleh trending topic: video siswi SMA di Bandung merokok di dalam kelas. Lalu, yang terkini, adalah Bandung dikepung banjir.

Mengapa Bandung Dikepung Banjir?

Secara ringkas dijawab karena dekadensi moral. Mari kita telusuri indikatornya.

Pertama, Bandung itu dikelilingi gunung; gunung mana yang tidak gundul? Kawasan Bandung Utara (KBU) dan Timur – semoga tidak dituduh seperti Puncak Bogor oleh Jakarta – pengirim banjir ke Bandung Selatan dan Rancaekek. Gunung Manglayang pernah longsor (gundul) tahun 1977. Kedua, ke arah Bandung Barat, Situ Aksan raib jadi perumahan sejak 1970-an dan Situ Ciburuy semakin hari semakin menyusut.

Ketiga, amar, tata, dan restu Pemerintah sejak ‘dulu’ tidak arif sehingga pembangunan justru melegitimasi pengrusakan lingkungan seperti begitu mudahnya izin developer properti di daerah resapan air; tata ruang kota (termasuk jalan); dan penertiban DAS (termasuk got); jalan dan got di kota ini identik dengan macet bin mampet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun