Ini jelas berbahaya bagi perihidup bermasyarakat kita yang menginginkan keseimbangan jiwaraga. Di mana letak bahayanya? Sebenarnya masalah self-explanatory yang bisa dijawab oleh RA sendiri dan terutama oleh owner ketiga media massa itu. Mungkin, di sini maksud saya bahwa yang hebat sesungguhnya itu ialah ketiga owner yang—jika—mau dewasa.
Saya sekadar mengajukan indikator feed-back: mengapa selalu ada kisah pilu ‘mantan’ seleb dan tetap (baca: status quo) media massa yang selalu diuntungkan?
Adil dan Makmur
Informasi itu anak. Layaknya anak bermakna harta dan harta itu amanat. Sungguh hebat orang yang bisa membesarkan anak penyayang semesta alam. Namun, selain harta, anak bermakna pula fitnah (ujian), maka informasi yang hebat itu pun bukan sekadar news yang meningkatkan rating media massa dengan bumbu kontroversial atau sensasional, tetapi kedewasaan mengemban amanat.
Seluruh elemen bangsa mengamini bahwa amanat negeri ini mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Nah, kembali menjadi self-explanatory bagi RA dan terutama bagi owner ketiga media massa itu untuk mewujudkan adil dan makmur versinya.
Sebagai penonton, kita hanya menyaksikan bahwa RA bertanggung jawab menyejahterakan keluarga dan karyawannya atau kita sering menyaksikan RA bagi-bagi rizki-nya kepada siapa saja. Kita pun sering menyaksikan pengumuman ‘kepedulian’ para owner itu semisal CSR (corporate social responsibility)-nya atau diversifikasi ke dunia politik.
Bagi kita, polah mereka itu terserah Tuhan yang menilai keikhlasannya karena yang pasti kita sekadar menonton bahwa RA dan ketiga owner media massa itu berikhtiar baik untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, meski haters menyebutnya ‘pencitraan’.
Mungkin dari semua informasi yang kadung di-share ke publik itu adalah melakukan self-evaluation ala Indonesia biar tidak tayang ulang kisah pilu mantan seleb atau gulung tikarnya media massa; dan bagi kita, penonton, sungguh banyak hikmah dari informasi-informasi itu. Salah satunya ialah hak adil dan makmur itu harus kita jemput sendiri!
O ya, apa kabar Sule, Uya Kuya, Denny Cagur, Irfan Hakim, dan Ruben Onsu? Bagaimana versi adil dan makmur kalian? Bagaimana pula dengan yang punya rangkap jabatan/profesi dengan mengatasnamakan rakyat, umat, Indonesia, atau Islam, yang karena jabatan/profesi itu menyadarkannya bahwa adil dan makmur itu bukan memberi ikan, tetapi kail kepada yang dicatut namanya?
Omongan ini sekadar topong ani alias senandika bahwa adil dan makmur itu bukan hanya untuk diomongkan.
Bandung, 201610018, 07.32.