Tepat tanggal 25 September 2016, Kota Bandung memperingati hari jadinya yang ke-206 tahun. Kesejarahan dan perkembangannya, tidak disimak secara intens oleh penulis. Namun secara alami, penulis yang lahir dan menetap di Kota Bandung memiliki memori dan anotasi alit, yang diharap memberi sumbangsih positif bagi kota yang kita cintai bersama ini.
Apresiasi
Penghargaan berdasarkan pemahaman (apresiasi) kita sebagai rakyat layak diberikan kepada para pemimpin atau walikota Bandung, yang telah atau sedang memimpin. Mereka dengan ‘kadar’-nya telah berusaha memimpin kita untuk membangun Kota Bandung.
Sepertinya kita pun sepakat, pemimpin yang sukses ialah pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kita bisa melakukan perbandingan di antara mereka.
Kota
Bandung sebagai ibukota provinsi Jabar (Jawa Barat) tak lepas dari kasus urbanisasi plus problematika tipikal kota seperti jalan dan got macet. Berbagai usaha kuratif telah dilakukan para walkot (walikota). Memang, idealnya adalah usaha antisipatif semisal tata ruang yang berkesinambungan.
Kota juga mengandung sekaligus mengundang ekses sosial-ekonomi yang sering berbenturan dengan ranah etis dan estetis, sehingga menjadi bola kusut atau labirin (lihat gambar: “Program Pemkot Bandung untuk Pengentasan Kemiskinan dan Ekonomi Kerakyatan”).
Pelanggaran K3 (kebersihan, ketertiban, dan keindahan) antara aparat dengan masyarakat itu berkelindan seakan rel kereta api, beriringan sepanjang jalan tanpa tujuan. Sebutlah masyarakat melanggar, aparat malah membiarkan atau justru menarik retribusi. Contoh fenomenalnya adalah PKL (pedagang kaki lima dan ada tren PKL dengan mobil, berarti PK enam?).
Kemudian masalah parkir motor. Di aturan, Rp 500 per 2 jam pertama. Di lapangan, mulai (gara-gara ada uang kertas selembar) Rp 2.000; malah di sekitar Alun-alun Bandung (selain di basement) mulai Rp 3.000 meski parkir sebentar (kurang dari 20 menit). Tukang parkirnya, bukan petugas resmi!
Yang ironis, parkir motor di halaman gedung/fasilitas yang banyak dikunjungi masyarakat karena butuh pertolongan, bukan untuk belanja atau senang-senang, apalagi oleh swasta; tetapi karena atas nama ‘manajemen’ malah ada yang mematok per jamnya Rp 2.500 disertai struk jam masuk dan tanpa tanggung jawab kalau ada kehilangan. Industri parkir saja menggiurkan!
Aturan ada, plang/rambu/spanduk peringatan ada di mana-mana, tetapi kalau tidak ada disiplin dari masyarakat sekaligus—terutama dari—aparat, ya percuma. Mengapa harus lebih dominan oleh aparat? Karena kalau ditertibkan oleh masyarakat akan terjadi konflik horizontal.
Kita gemas kepada pelanggar K3 seperti reklame sembarangan atau knalpot bising dan lampu belakang putih di motor. Kita ingin menertibkan reklame dan nakol (ngetok) motor mereka, tapi pasti berbuntut panjang!
Kompak
Penertiban K3 (kebersihan, ketertiban, dan keindahan) pun sebaiknya bersifat antisipatif, bukan sanksi, yakni kesadaran dari semua pihak (masyarakat dan aparat) untuk mewujudkan K3 bagi semboyan ‘Bandung Bermartabat’ dengan etos kerja ‘Bandung Juara’.
Kata kuncinya: ‘kompak’. Aparat menata, masyarakat menaati. Jalan pintasnya adalah aparat memberi teladan yang baik. Terlalu sering dan sudah lama masyarakat menyaksikan aparat dengan pelanggar kongkalikong. Contoh masyhurnya, ‘pasar tumpah’.
Seiring kemajuan produk iptek, penataan lebih rapi-praktis dapat didukung misalnya dengan pengadaan sarana CCTV dan tentu mudah diakses masyarakat. Nanti bakal ketahuan: siapa sih pelanggar K3 itu. Kita pun senang dengan agenda penataan reklame yang berbasis teknologi, sehingga mempercantik kota.
Memperingati hari jadi Kota Bandung ke-206 tahun ini, Pemkot Bandung mengadakan ‘Bandung Great Sale’ (BGS) mulai 10 September hingga 9 Oktober 2016, yakni pesta diskon, menurut Ridwan Kamil, dari mal besar sampai tukang cuanki, dari pelayanan rumah sakit sampai biaya pijat dapat diskon.
Para pedagang yang berpartisipasi dalam BGS diberikan stiker khusus. Dengan begitu memudahkan pembeli mengetahui penjual yang memberi diskon untuk dagangannya. Tujuannya, ekonomi bergerak karena semua orang senang diskon; juga dalam rangka mendukung Jabar sebagai tuan rumah PON, tentu banyak tamu dari seluruh Indonesia yang datang.
Adapun PON XIX 2016 Jabar diselenggarakan pada 17-29 September 2016, kemudian Peparnas XV 2016 Jabar pada 15-24 Oktober 2016.
Selain itu, ‘Bandros’ (Bandung Tour on the Bus), bus tingkat di Kota Bandung akan beroperasi kembali, sehingga BGS dan PON menjadi ajang promosi Kota Bandung.
Gemericik Air
Memperhatikan “Program Pemkot Bandung untuk Pengentasan Kemiskinan dan Ekonomi Kerakyatan” dari skema tulisan tangan Ridwan Kamil itu, terdapat tujuh progam besar, yaitu di bidang: (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3) sosial, (4) tata ruang, (5) hunian, (6) modal ekonomi, dan (7) ketahanan pangan.
Di sini, penulis sekadar mengingatkan pada sebait lagu kebangsaan Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya/ Bangunlah badannya”. Kentara jiwanya dulu, baru badannya; orangnya dulu, baru infrastruktur. Bait lagu ini menjadi filosofi program Pemerintah Pusat: “Revolusi Mental”, sehingga uraian dari atas dapat terwujud karena ada teladan dari ‘mental’ aparat.
Memori penulis tidak menginginkan ada air mancur seperti Bundaran HI di Jakarta; tetapi ada air mancur kecil di tengah Alun-alun Bandung kemudian di sekeliling alun-alun dibuat selokan kecil yang mengalir air dan terdengar gemericiknya. Sungguh sebuah oasis dan wah!
Semoga Kang Emil (Ridwan Kamil) t’lah menjadi Kompasianer.
Bandung, 1 September 2016.
Sumber foto: koleksi pribadi.
Sumber gambar: akun Facebook Ridwan Kamil, copas 24/3/16.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H