Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gemericik Air (Menyambut Hari Jadi Kota Bandung Ke-206)

4 September 2016   17:00 Diperbarui: 4 September 2016   17:03 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan tangan Ridwan Kamil entas kemiskinan

Tepat tanggal 25 September 2016, Kota Bandung memperingati hari jadinya yang ke-206 tahun. Kesejarahan dan perkembangannya, tidak disimak secara intens oleh penulis. Namun secara alami, penulis yang lahir dan menetap di Kota Bandung memiliki memori dan anotasi alit, yang diharap memberi sumbangsih positif bagi kota yang kita cintai bersama ini.

Apresiasi

Penghargaan berdasarkan pemahaman (apresiasi) kita sebagai rakyat layak diberikan kepada para pemimpin atau walikota Bandung, yang telah atau sedang memimpin. Mereka dengan ‘kadar’-nya telah berusaha memimpin kita untuk membangun Kota Bandung.

Sepertinya kita pun sepakat, pemimpin yang sukses ialah pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kita bisa melakukan perbandingan di antara mereka.

Kota

Bandung sebagai ibukota provinsi Jabar (Jawa Barat) tak lepas dari kasus urbanisasi plus problematika tipikal kota seperti jalan dan got macet. Berbagai usaha kuratif telah dilakukan para walkot (walikota). Memang, idealnya adalah usaha antisipatif semisal tata ruang yang berkesinambungan.

Kota juga mengandung sekaligus mengundang ekses sosial-ekonomi yang sering berbenturan dengan ranah etis dan estetis, sehingga menjadi bola kusut atau labirin (lihat gambar: “Program Pemkot Bandung untuk Pengentasan Kemiskinan dan Ekonomi Kerakyatan”).

Tulisan tangan Ridwan Kamil entas kemiskinan
Tulisan tangan Ridwan Kamil entas kemiskinan
Disiplin

Pelanggaran K3 (kebersihan, ketertiban, dan keindahan) antara aparat dengan masyarakat itu berkelindan seakan rel kereta api, beriringan sepanjang jalan tanpa tujuan. Sebutlah masyarakat melanggar, aparat malah membiarkan atau justru menarik retribusi. Contoh fenomenalnya adalah PKL (pedagang kaki lima dan ada tren PKL dengan mobil, berarti PK enam?).

Kemudian masalah parkir motor. Di aturan, Rp 500 per 2 jam pertama. Di lapangan, mulai (gara-gara ada uang kertas selembar) Rp 2.000; malah di sekitar Alun-alun Bandung (selain di basement) mulai Rp 3.000 meski parkir sebentar (kurang dari 20 menit). Tukang parkirnya, bukan petugas resmi!

Yang ironis, parkir motor di halaman gedung/fasilitas yang banyak dikunjungi masyarakat karena butuh pertolongan, bukan untuk belanja atau senang-senang, apalagi oleh swasta; tetapi karena atas nama ‘manajemen’ malah ada yang mematok per jamnya Rp 2.500 disertai struk jam masuk dan tanpa tanggung jawab kalau ada kehilangan. Industri parkir saja menggiurkan!

Aturan ada, plang/rambu/spanduk peringatan ada di mana-mana, tetapi kalau tidak ada disiplin dari masyarakat sekaligus—terutama dari—aparat, ya percuma. Mengapa harus lebih dominan oleh aparat? Karena kalau ditertibkan oleh masyarakat akan terjadi konflik horizontal.

Kita gemas kepada pelanggar K3 seperti reklame sembarangan atau knalpot bising dan lampu belakang putih di motor. Kita ingin menertibkan reklame dan nakol (ngetok) motor mereka, tapi pasti berbuntut panjang!

Kompak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun