Malam itu, angin berembus dingin di desa terpencil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Langit pekat tanpa bintang, menambah kelam suasana yang sudah mencekam. Azan Isya baru saja berkumandang, namun di sebuah rumah tua di tepi desa, kegiatan yang sama sekali berbeda tengah berlangsung. Rumah itu milik Pak Karim, seorang pria paruh baya yang dikenal keras kepala dan misterius. Tidak banyak yang tahu bahwa di balik dinding-dinding usang rumahnya, berlangsung kegiatan yang tidak selaras dengan ajaran Islam.
Pak Karim, yang dahulu dikenal sebagai seorang yang taat, kini telah tersesat dalam keyakinan sesat yang dibungkus dengan ritual-ritual yang dipenuhi kemusyrikan. Ia bersama dengan beberapa pengikutnya memuja entitas-entitas gaib yang diyakini dapat memberikan kekayaan, kekuasaan, dan kehidupan abadi. Mereka melakukannya dengan cara yang sangat jauh dari ajaran Rasulullah, penuh dengan mantera-mantera yang bukan dari Al-Qur'an, serta berbagai praktik menyimpang lainnya.
Malam itu, Pak Karim mengumpulkan para pengikutnya. Di ruang utama rumahnya, mereka duduk melingkar di atas lantai beralaskan tikar lusuh. Di tengah-tengah mereka, sebuah meja kecil dipenuhi dengan sesajen: kemenyan yang membara, darah ayam yang masih segar, dan berbagai benda lainnya yang membuat bulu kuduk meremang.
"Saudara-saudaraku," ujar Pak Karim dengan suara serak. "Malam ini, kita akan melakukan pemanggilan yang paling kuat. Kita akan meminta kekuatan dari Sang Penguasa Malam untuk memberikan kita apa yang kita inginkan. Tapi ingat, apa yang kita minta harus kita bayar dengan harga yang setimpal."
Mata para pengikutnya berbinar, penuh harap dan keinginan duniawi. Mereka begitu larut dalam janji-janji kosong yang diberikan Pak Karim, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menapaki jalan menuju kebinasaan. Di antara mereka, ada seorang pemuda bernama Ahmad. Ia baru bergabung dengan kelompok itu setelah terusir dari rumahnya karena sikapnya yang memberontak terhadap orang tuanya yang taat beragama. Ia merasa menemukan tempat di mana ia bisa bebas dari segala aturan yang menurutnya mengekang.
Namun, di dalam hati kecil Ahmad, ada kegelisahan yang terus menghantui. Ia teringat nasihat ibunya, seorang wanita shalihah yang tak pernah lelah mengingatkannya agar selalu berpegang teguh pada ajaran Islam dan menjauhi segala bentuk kesesatan. Namun Ahmad yang keras kepala menutup telinga hatinya, membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam ke dalam jurang yang kelam.
Malam semakin larut, dan ritual dimulai. Pak Karim mengucapkan mantera-mantera dengan penuh keyakinan, diikuti oleh para pengikutnya yang kini berada dalam kondisi setengah trance. Ahmad yang berada di sudut ruangan merasa semakin gelisah. Ia melihat bayangan-bayangan aneh mulai muncul di sekelilingnya, seakan-akan ruangan itu dipenuhi oleh makhluk-makhluk gaib yang bersembunyi di balik kegelapan.
Tiba-tiba, pintu rumah Pak Karim terbuka dengan keras. Angin kencang masuk, menghempaskan kemenyan dan lilin-lilin yang menyala. Suasana menjadi kacau. Di ambang pintu, berdiri seorang lelaki tua dengan wajah yang dipenuhi cahaya, matanya tajam memandang ke dalam ruangan.
"Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya lantang, menembus keheningan yang mencekam. Itu adalah Pak Haji Abdullah, seorang ulama yang dihormati di desa tersebut. Ia dikenal sebagai orang yang selalu berusaha menegakkan syariat Islam di mana pun ia berada.
Para pengikut Pak Karim terdiam, terkejut dan ketakutan. Namun Pak Karim, dengan wajah penuh amarah, berusaha melawan. "Haji Abdullah, jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu!"