Matahari hampir tenggelam ketika Ani mulai berjalan di jalan setapak yang sepi itu. Hanya ada suara desiran angin yang menembus celah-celah pepohonan di sekelilingnya. Jalan ini adalah jalur yang biasa ia lalui setiap pulang kerja. Namun, sore ini, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang menahannya untuk melangkah lebih jauh.
Ani adalah seorang wanita muda yang tinggal sendirian di sebuah desa kecil. Hidupnya sederhana, namun penuh dengan kepedihan yang ia simpan rapat-rapat di balik senyum yang selalu ia perlihatkan pada dunia. Tidak ada yang tahu, di balik senyuman itu, tersembunyi luka yang dalam, yang terus membekas dan menghantui setiap langkahnya.
Hari ini, tepat setahun yang lalu, adalah hari yang mengubah hidup Ani selamanya. Di jalan yang sama ini, ia pernah berjalan bersama seseorang yang sangat ia cintai, Budi, tunangannya. Mereka merencanakan untuk menikah dalam waktu dekat, dan masa depan yang cerah tampak menanti di depan mata. Namun, takdir berkata lain. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Budi dari sisinya.
Ani masih ingat dengan jelas malam itu. Hujan turun dengan derasnya, dan Budi mengendarai motornya untuk menjemput Ani di tempat kerja. Ia meminta Budi untuk tidak datang karena hujan begitu deras, namun Budi bersikeras. Ia tak ingin Ani pulang sendirian di malam yang kelam. Di perjalanan pulang, mereka mengalami kecelakaan. Budi meninggal seketika di tempat, sementara Ani hanya mengalami luka-luka ringan.
Sejak saat itu, Ani merasa hidupnya hampa. Setiap hari ia menjalani rutinitas yang sama, tetapi hatinya kosong. Setiap kali melewati jalan ini, ia selalu teringat akan Budi, dan air mata pun selalu menetes tanpa bisa ia tahan. Ani merasa seperti bayangan yang berjalan di atas jalan yang sepi, tanpa arah, tanpa tujuan.
Di tengah perjalanan pulangnya sore itu, Ani berhenti sejenak. Ia menatap langit yang mulai berubah warna menjadi kemerahan. Tetesan air mata tak terbendung lagi. Ani berlutut di tengah jalan, membiarkan kesedihan yang selama ini ia tahan mengalir keluar. Ia merasakan beban di hatinya semakin berat, seakan dunia ini tidak lagi memiliki tempat untuknya.
Namun, di saat ia hampir tenggelam dalam keputusasaan, Ani mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika ia menoleh, seorang pria tua dengan wajah ramah berdiri di depannya. Pria itu adalah Pak Hadi, seorang petani tua yang tinggal tak jauh dari desa. Pak Hadi tersenyum lembut dan berkata, "Kamu tidak sendiri, Nak. Kita semua punya luka, tapi jangan biarkan luka itu menghalangimu untuk melangkah ke depan."
Kata-kata Pak Hadi menyentuh hati Ani. Ia teringat bagaimana Budi selalu mengatakan hal yang sama setiap kali Ani merasa ragu atau takut. Ani mengangguk pelan, dan Pak Hadi membantu Ani berdiri. Mereka berjalan bersama menuju desa, meninggalkan jalan sepi yang selama ini menjadi saksi bisu dari kesedihan Ani.
Hari itu, Ani memutuskan untuk mulai menerima kenyataan bahwa Budi sudah tiada. Luka di hatinya mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi Ani tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya. Setiap langkah yang ia ambil di jalan itu, kini bukan lagi jejak luka, tetapi jejak kekuatan untuk terus bertahan dan menemukan kebahagiaan kembali.
Di penghujung jalan, Ani tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, ia merasakan secercah harapan kembali dalam hidupnya. Meskipun jalan yang ia lalui masih panjang dan penuh tantangan, Ani yakin bahwa ia akan mampu melewatinya. Jejak luka di jalan sepi itu kini menjadi bagian dari masa lalunya, bukan lagi belenggu yang menahannya untuk melangkah ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H