Di sebuah desa kecil yang terletak di antara bukit-bukit hijau dan ladang yang luas, hidup seorang petani bernama Ahmad. Dia adalah sosok yang sederhana, tetapi wajahnya penuh dengan kerutan yang menceritakan ribuan kisah tentang perjuangan dan harapan. Setiap pagi, Ahmad bangun sebelum matahari terbit, mengenakan topi jerami yang lusuh, dan berjalan menuju ladangnya yang sudah lama kering.
Ahmad mewarisi ladang itu dari ayahnya, seorang petani yang sangat dicintai dan dihormati. Selama bertahun-tahun, ladang itu adalah sumber kehidupan mereka, memberikan hasil panen yang melimpah dan kebahagiaan bagi keluarga Ahmad. Namun, beberapa tahun terakhir, cuaca tidak bersahabat. Hujan yang biasanya datang dengan konsisten, kini enggan turun. Tanah yang dulunya subur dan hijau, kini berubah menjadi gersang dan retak-retak.
Ahmad tidak pernah menyerah. Ia terus menggali dan menanam, berharap setiap biji benih yang ditanamnya akan tumbuh menjadi tanaman yang menghidupi keluarganya. Namun, semakin keras ia berusaha, semakin terlihat hasil panen yang mengecewakan. Ladangnya kian lama kian layu, dan Ahmad sering kali pulang dengan tangan kosong dan hati yang penuh kepedihan.
Suatu malam, saat Ahmad duduk di beranda rumahnya yang sederhana, ia memandang langit yang gelap. Bintang-bintang tersembunyi di balik awan tebal, dan bulan tidak menunjukkan sinarnya. Hatinya penuh dengan pertanyaan. "Mengapa langit tidak mau menangis untuk tanah yang gersang?" gumamnya dalam hati.
Istrinya, Aisyah, sering kali melihat kerutan di wajah Ahmad semakin dalam. Ia tahu betul betapa beratnya perjuangan suaminya. "Kita harus terus berdoa, Ahmad," kata Aisyah lembut setiap kali Ahmad pulang dengan harapan yang patah. "Mungkin Tuhan sedang menguji kita."
Namun, meski doa dan usaha mereka tidak pernah berhenti, hasilnya tetap sama. Ekonomi keluarga semakin sulit, dan Ahmad mulai menjual harta benda berharga mereka untuk membeli benih dan pupuk, namun semuanya sia-sia. Hingga suatu hari, ladangnya benar-benar kering, tidak ada lagi yang bisa ditanam.
Di tengah keputusasaan, datanglah sebuah berita duka. Anak perempuan mereka, Siti, yang berusia delapan tahun, tiba-tiba jatuh sakit. Meskipun Ahmad dan Aisyah berusaha keras untuk membawanya ke dokter dan mencari obat, penyakit itu semakin parah. Dalam keputusasaan dan kekurangan dana, mereka terpaksa melihat anak mereka menderita tanpa bisa membantu.
Hari demi hari, Siti semakin lemah, dan pada suatu malam yang dingin, Siti menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan ibunya. Ahmad merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia merasa gagal sebagai suami, ayah, dan petani. Langit di luar masih tetap gelap dan hampa, seakan tidak peduli dengan penderitaan yang mereka alami.
Keesokan harinya, Ahmad berdiri di ladangnya yang kering, menatap tanah yang tidak lagi memberikan kehidupan. Dengan hati yang hancur, ia menatap ke langit yang tetap suram. "Langit, mengapa kau tidak menangis untuk kami?" teriaknya, air mata membasahi pipinya.
Desa itu kemudian mengadakan sebuah pemakaman sederhana untuk Siti. Banyak warga desa yang datang memberikan dukungan, tetapi tidak ada yang bisa menghibur Ahmad dan Aisyah. Setelah pemakaman, Ahmad merasa seakan hidupnya tidak memiliki arti lagi. Ladang yang kering itu, yang dulunya menjadi simbol harapan dan kerja kerasnya, kini hanya menjadi tempat kenangan akan segala penderitaan.
Beberapa minggu kemudian, Ahmad dan Aisyah memutuskan untuk meninggalkan desa dan mencari kehidupan baru di tempat lain. Ladang itu tetap kosong dan gersang, tanpa seorang pun yang merawatnya. Ahmad meninggalkan desa dengan rasa kesedihan yang mendalam, dan langit tetap tidak menangis untuk tanah yang gersang.
Kisah Ahmad dan keluarganya menjadi cerita yang sering dibicarakan oleh penduduk desa. Mereka mengingat perjuangan dan kesedihan Ahmad sebagai pengingat bahwa tidak semua doa dan usaha dapat membawa hasil yang diinginkan. Dalam kehampaan ladang yang kering itu, tersimpan kisah kehidupan yang penuh dengan harapan, cinta, dan kesedihan yang tak terungkapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H