Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan jejak merah keemasan yang melukis langit. Namun, keindahan senja tak mampu menghapus perasaan hampa di hati Anisa. Sudah lima tahun berlalu sejak ia terakhir kali melihat senyuman hangat Bapak, tetapi bayangannya tetap menghantui setiap detik yang ia jalani. Di sudut desa kecil yang dulu menjadi saksi tawa dan canda mereka, kini hanya ada keheningan yang menyiksa.
Bapak selalu pulang sebelum senja tiba. Itu adalah janji yang tak pernah ia ingkari, hingga hari itu. Anisa masih ingat betapa riang hatinya ketika melihat Bapak berjalan di pematang sawah, membawa pulang harapan di setiap langkahnya. Namun, senja yang sama membawa kabar yang menghancurkan dunianya. Bapak tidak pulang.
Malam itu, Anisa berdiri di beranda rumah, menanti Bapak dengan secangkir teh yang ia buatkan. Namun, kegelapan malam datang lebih cepat dari biasanya, dan Bapak tak kunjung tiba. Suara jangkrik dan hembusan angin menjadi satu-satunya teman dalam kesunyian yang mencekam. "Bapak pasti sedang mengurus sesuatu," pikirnya, mencoba menenangkan hati. Tapi keyakinan itu goyah seiring berjalannya waktu.
Esoknya, berita itu sampai ke telinga Anisa. Bapak ditemukan tak bernyawa di tepi hutan, tubuhnya terbaring dingin di atas tanah yang basah. Sebuah luka menganga di dadanya, bekas tikaman yang merenggut nyawanya tanpa ampun. Dunia Anisa runtuh seketika. Bagaimana mungkin seseorang yang penuh kasih seperti Bapak menemui akhir yang begitu tragis? Tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya, bahkan angin yang berhembus pun seolah enggan berbicara.
Hari-hari berikutnya adalah neraka bagi Anisa. Ia merasa kehilangan arah, seperti kapal yang terombang-ambing di lautan tanpa tujuan. Rumah yang dulu hangat kini terasa asing, seolah-olah setiap sudutnya menyimpan kenangan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Suara langkah kaki Bapak di teras, tawa lepasnya saat bermain catur, dan ceritanya tentang masa lalu kini hanya tinggal bayang-bayang yang menghantui.
Di tengah derita yang tak kunjung reda, Anisa menemukan setumpuk surat di laci meja kerja Bapak. Surat-surat yang tak pernah ia kirimkan, namun penuh dengan kata-kata yang tak pernah ia ucapkan. "Untuk Anisa, bintang kecilku," demikian Bapak memulai setiap suratnya. Surat-surat itu bercerita tentang betapa ia mencintai Anisa, betapa ia bangga pada putrinya, dan betapa ia selalu memikirkan masa depan yang cerah untuknya.
Namun, satu surat berbeda. Surat terakhir yang ditulis Bapak berisi kata-kata yang menghancurkan hati Anisa. "Maafkan Bapak, Nisa. Bapak telah berbuat kesalahan besar. Bapak tak bisa lagi menepati janji untuk selalu pulang sebelum senja. Jika suatu hari Bapak tak pulang, ketahuilah bahwa Bapak selalu mencintaimu, lebih dari apa pun di dunia ini."
Anisa meremas surat itu, merasakan setiap kata seolah menghujam hatinya. Selama ini, Bapak menyimpan beban yang tak pernah ia ketahui. Beban yang membuatnya memilih jalan yang berujung pada kematiannya. Anisa tak tahu apa yang Bapak lakukan, apa yang membuatnya merasa begitu bersalah. Hanya ada penyesalan yang mendalam, dan luka yang tak pernah sembuh.
Setiap senja, Anisa berdiri di tepi jendela, menatap langit yang perlahan gelap. Ia menunggu, berharap melihat sosok Bapak muncul dari balik bayang-bayang pepohonan, berjalan pulang dengan senyuman. Namun, ia tahu, senja itu tak akan pernah membawa pulang Bapak lagi. Ia tak bisa mengembalikan waktu, tak bisa menghapus kesalahan yang Bapak sembunyikan darinya. Yang tersisa hanya kenangan, dan surat-surat yang kini menjadi satu-satunya penghubung antara dirinya dan Bapak.
Di penghujung hari, Anisa merasakan keheningan yang lebih pekat dari biasanya. Senja telah berlalu, dan malam telah sepenuhnya tiba. Ia duduk di beranda, menatap langit yang penuh bintang. Mungkin, di suatu tempat yang jauh, Bapak juga menatap bintang yang sama. Mungkin, dalam keheningan malam, mereka masih terhubung, meski tak lagi bisa saling bicara.