Di desa subur bernama Sukamaju, segala sesuatu tampak begitu sempurna dari luar. Sawah-sawah menghampar hijau, penuh dengan padi yang menunggu untuk dipanen. Pepohonan kelapa menjulang tinggi di sepanjang jalan desa, memberikan kesejukan bagi siapa pun yang berlalu. Setiap musim panen, desa ini dibanjiri hasil bumi yang berlimpah, menciptakan pemandangan yang memikat siapa saja yang melihatnya. Penduduk desa hidup dengan damai, rumah-rumah mereka kokoh, dengan lumbung-lumbung yang selalu terisi penuh. Tidak ada yang kekurangan, tidak ada yang terlihat kelaparan. Tapi, seperti halnya fatamorgana di gurun, tidak semua yang tampak dari luar adalah cerminan dari kenyataan yang sebenarnya.
Pak Hasan, salah satu petani paling dihormati di desa itu, adalah sosok yang menjadi panutan. Tubuhnya masih tegap meski usianya sudah menua, dan tangannya yang kokoh menunjukkan ketekunan yang diwarisinya dari generasi ke generasi. Sawah miliknya adalah yang paling luas di desa, dan hasil panennya selalu yang terbaik. Namun, di balik senyumnya yang ramah, ada kegelisahan yang tak pernah diketahui oleh penduduk lain.
Malam itu, angin dingin bertiup dari utara, menembus celah-celah rumah kayu Pak Hasan. Ia duduk di teras, memandang bulan purnama yang bersinar terang. Di tangannya, sebuah rokok tembakau hampir habis, sementara pikirannya melayang ke berbagai tempat. Pak Hasan bukan tipe orang yang sering mengeluh, namun malam itu, ia merasa ada sesuatu yang salah. Bukan tentang panen yang buruk, atau tentang cuaca yang tak bersahabat, melainkan sesuatu yang lebih dalam, yang membuatnya terjaga setiap malam.
Ia merasakan perutnya yang kosong, bukan karena kekurangan makanan, tetapi karena rasa lapar yang tak bisa dijelaskan. Lapar yang bukan hanya sekadar keinginan untuk makan, melainkan sebuah kekosongan yang terus menghantui dirinya. Setiap kali ia mencoba untuk tidur, rasa lapar itu kembali, menyerangnya dengan intensitas yang semakin hari semakin kuat.
Pak Hasan mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Ia bekerja lebih keras di ladang, menghabiskan waktu lebih lama dengan keluarganya, bahkan mencoba mencari hiburan di pasar malam yang sering diadakan di desa. Namun, rasa lapar itu tetap ada, menolak untuk pergi.
Satu malam, ketika ia tak bisa lagi menahan diri, Pak Hasan memutuskan untuk pergi ke rumah dukun desa, Mbah Sastro. Meski Pak Hasan bukan orang yang percaya pada hal-hal gaib, ia merasa bahwa ini mungkin satu-satunya cara untuk mengatasi masalahnya. Mbah Sastro dikenal sebagai orang yang bijak dan memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang tak terlihat.
Sesampainya di rumah Mbah Sastro, Pak Hasan disambut dengan bau dupa yang kuat. Mbah Sastro, dengan rambut putihnya yang panjang, duduk di tengah ruangan, seolah sudah menunggu kedatangan Pak Hasan. Tanpa banyak basa-basi, Pak Hasan menceritakan masalahnya. Mbah Sastro mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit seakan menembus jiwa Pak Hasan.
"Rasa lapar yang kau rasakan itu bukanlah lapar biasa, Pak Hasan," ujar Mbah Sastro dengan suara serak. "Kau telah menyimpan sesuatu yang bukan milikmu."
Pak Hasan terkejut mendengar kata-kata itu. Ia merasa telah menjalani hidupnya dengan jujur, tak pernah mengambil hak orang lain, selalu membantu tetangga yang kesusahan. Apa yang dimaksud oleh Mbah Sastro?
"Apa maksud Mbah?" tanya Pak Hasan, bingung.