Mohon tunggu...
Nilla Angria Fitri
Nilla Angria Fitri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I'm Happy MGer (^^)/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Kabar dari Kota Menara Jam Tua

25 Desember 2013   13:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu menggenggam sisa gerimis. Hujan yang baru saja meninggalkannya sendiri di bawah serindang pohon, menitipkan gigil di baris-baris giginya yang gemeretak. Kesibukan mulai menggeliat kembali. Anak-anak sekolah yang sedari tadi berteduh, beramai-ramai menapaki jalanan becek, mencipta noda pada sepatu kanvas hitam putih mereka. Lembar-lembar payung sudah dikuncupkan. Beberapa pedagang kaki lima bersiap menjajakan kembali barang dagangan. Badut-badut yang biasa berkeliling di taman kota ini mulai bermunculan. Burung-burung kecil bercericit sembari mengibaskan bulu-bulu mereka, tepat di atas kepala Paundra, lelaki di bawah serindang pohon.

Kali ini Paundra begitu membenci hujan. Sebab hujan membuatnya terkenang pada Rana. Begitu nyata dirasakannya tautan kelingking mungil gadis itu di kelingkingnya. Bahkan ia masih bisa mendengar sayup tawa khas dari Rana. Tawa renyah dan mata bulatnya yang teduh, membuat Paundra merasa menjadi lelaki paling beruntung di semesta.

* “Ini minggu kedua di bulan Juni, dan aku memang tak lebih tabah daripada hujan yang turun di bulan ini. Si penyair tua itu benar, Tuan Sapardi, akupun tak lebih bijak daripada hujan di bulan Juni”, batin Paundra. “Bagaimana bisa kuhapus jejak-jejak rindu itu. Bagaimana bisa kubekukan ingatan agar tak lagi kulihat Rana menari-nari di kepalaku. Kalau saja aku mampu menjadi setabah hujan dalam puisimu itu, Tuan Sapardi. Kalau saja...”

Paundra mulai berjalan perlahan menyusuri taman kota. Menara jam tua yang berdiri megah di tengah-tengah taman, menunjukkan pukul 17.05 WIB. Langkahnya berhenti sekitar dua meter dari jam berukuran raksasa, Jam Gadang, yang menjadi simbol bagi kota ini. Kota tempat Paundra dilahirkan dan membiarkan seluruh sejarah hidupnya ditulis hingga selesai. Kota dimana dalam satu tahun terakhir, bayangan Rana selalu terbit lebih dulu daripada matahari pagi. Kota dimana kenangan tentang Rana selalu menderas lebih dulu sebelum hujan terderas tumpah di sini.

Langit begitu santun, awan berarak tenang. Seakan hujan yang tadi merintik selama satu jam itu tak pernah turun. Paundra menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas yang mengelilingi Jam Gadang. Menyandarkan segala keletihan yang telah terakumulasi sejak ia benar-benar memahami arti kehilangan, saat mata bulat teduh Rana tak lagi bisa menemaninya menatap dunia. Saat jari-jarinya tak lagi bisa menggenggam jemari lembut Rana. Saat tak akan pernah ada kecupan-kecupan memburu wajahnya. Saat tak ada lagi semua tentang Rana, Rana, dan Rana.

Ingatan Paundra kembali mengoyak sejarah. Diputarnya ulang setiap peristiwa tanpa mampu dihentikan, meski tiap adegan yang berlarian di benaknya menancapkan luka yang menusuk-nusuk batinnya.

“Sore itu, sore terakhir yang kulewati bersamamu di tempat ini. Kau kurus sekali. Betapa tidak, dalam tiga bulan berat badanmu sudah turun lebih dari sepuluh kilogram. Kau terlihat berbeda. Namun mata bulatmu yang teduh itu tetap saja membuatku merasa menjadi lelaki paling beruntung di semesta.”

“Sore itu dingin sekali. Minggu kedua di bulan Juni, persis satu tahun yang lalu. Aku mengenakan jaket tebal berwarna merah, bergaris putih di sepanjang lengan. Saku jaketku tak pernah kosong. Selalu kau isi dengan daun-daun kering yang kau punguti di area taman kota ini setiap kali kita berjalan menyusurinya, sampai Jam Gadang menunjukkan pukul 17.30 WIB, saat kita kembali ke rumah. Kau sendiri mengenakan jaket hijau muda kesayanganmu. Kubelikan dulu ketika aku bertugas ke Jakarta selama empat hari. Empat hari yang membuatku dilanda rindu hingga berkarat. Dan dalam rentang waktu itu, kau pun selalu menutup percakapan telepon dengan bertanya kapan aku pulang.”

“Saat itu kaus kakimu rangkap dua. Mengenakan syal coklat bermotif daun-daun oranye, dan sebuah penutup kepala yang dirajutkan Mak Fitra, tetangga di belakang rumah, khusus untukmu. Ah, betapa aku tak pernah lupa segala hal tentangmu pada hari itu, Rana.”

“Senyum selalu terpancar dari wajahmu. Kau cantik sekali. Serta merta dingin yang sebelumnya mengusik kulit, tak lagi kurasakan. Hanya kehangatan yang mengaliri tubuhku. Aku bahagia, Rana. Bahagia bersamamu.”

“Kugandeng tangan lembutmu. Sesekali kau menggelayut manja di lenganku. Kudengarkan segala celotehmu yang membuatku melupakan kepenatan dan kelelahan yang melandaku sepanjang hari itu. Kita duduk di bangku taman, bercerita, lalu berfoto dengan badut Winnie the Pooh tepat pada pukul lima sore. Entah foto keberapa yang kita ambil bersama badut itu. Setiap kali kita kesana, tak pernah tidak berfoto dengannya. Bahkan kita telah menjadi teman baik bagi si badut, yang bernama Inal. Sekali waktu dia pernah mengunjungimu, membawa jeruk-jeruk segar yang sangat kau sukai. Kau ingat, bukan?”

“Sore itu, sore terakhir kebersamaan kita di taman. Belum pukul 17.30 WIB, namun kita sudah harus segera pulang. Kita sudah sepakat untuk tak berlama-lama di tempat itu, hanya mengelilingi taman sebentar, lalu berfoto dengan badut Inal. Aku ingat, kau dekap erat foto polaroid itu, mengecupnya sekali. Lalu kau lambaikan tanganmu pada Inal. Dibalasnya lambaian tanganmu dan bergoyang berputar-putar dengan kostum Winnie the Pooh yang biasa dikenakan Inal. Yang tak kutahu, lambaian itu adalah lambaian penghabisanmu untuknya.”

“Sayang, hari ini aku mengenakan jaket yang kukenakan pada hari itu. Jaket merah bergaris putih di sepanjang lengan. Namun saku jaketku kosong. Tak ada dedaunan kering mengisinya. Tak ada foto polaroid. Inal pun sudah tak lagi disini. Ia berada di Pekanbaru, demi pekerjaan yang lebih baik daripada hanya sekedar menjadi badut taman kota. Ia tak berkabar. Aku hanya mengetahuinya dari temannya sesama badut. Namun badut Winnie the Pooh itu masih ada. Tentu saja bukan Inal yang ada di dalamnya. Aku tak pernah tahu siapa yang menggantikan Inal. Dan aku pun tak ingin mengetahuinya.”

Senja datang dengan pesona yang tak terbantahkan. Mesjid dan surau-surau mulai menggemakan adzan ke sudut-sudut kota. Langit belum gelap. Namun Paundra telah menjadi malam bagi dirinya sendiri. Suara-suara adzan menjadi lantunan yang menggiring Paundra ke kedalaman sunyi paling hening. Lukanya masih segar. Kehilangannya yang teramat dalam membawanya pada ranah diam. Dan diam itu mencabik dirinya sendiri.

Desau adzan sudah habis. Paundra semakin pekat dalam kesenyapannya. Dadanya dipukul-pukul kenangan. Makin hanyut ia terbawa arus sungai yang diciptanya sendiri dari ujung-ujung matanya. Untuk sesaat, ia berharap ini hanya bagian dari permainan petak umpet yang dulu biasa dimainkannya bersama Rana. Untuk sesaat, ia berharap tiba-tiba Rana muncul mengejutkannya dari balik punggung. Untuk sesaat, ia berharap jarum-jarum Jam Gadang itu berputar mundur hingga setahun yang lalu. Dan kalau saja saat itu waktu bisa dihentikan. Tapi tidak, itu takkan terjadi. Paundra menyadari itu.

Rana adalah sosok yang mampu membuatnya jatuh cinta untuk kedua kali. Benar-benar jatuh cinta. Setelah cinta pertamanya ia tambatkan pada Riska. Wanita yang membuatnya memutuskan untuk menikah dua belas tahun yang lalu. Riska membuat Paundra menutup seluruh pintu dan jendela hatinya. Ia menyetia pada Riska hingga kisahnya tuntas didetakkan waktu. Sampai pada suatu hari ketika Rana mematahkan seluruh pilar yang telah dibangun. Paundra jatuh cinta untuk kedua kali. Benar-benar jatuh cinta. Jatuh cinta pada Rana.

Rana hadir ke dunia melalui rahim Riska, pada tahun ketiga pernikahan mereka. Sebagai seorang ayah baru, Paundra merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Namun kebahagiaan itu tandas seperti secangkir kopi pagi yang biasa dicecap Paundra, hanya menyisakan ampas pekat dan beraroma luka. Segala harapan dan impiannya lengang lalu hilang tak terdengar. Ketika itu Rana berusia delapan bulan, Paundra duduk berhadap-hadapan dengan dokter anak yang menyampaikan kabar bahwa Rana menderita down syndrome.

Paundra dikecewakan oleh harapannya sendiri. Dan sejak saat itu ia menjadi lebih sering berada di kantor, menenggelamkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan. Meskipun demikian, ia selalu memenuhi segala kebutuhan keluarganya dengan baik dan bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan istri dan putrinya.

Paundra berubah, ketika pada suatu malam, sepulangnya dari kantor dengan membawa kejenuhan yang sangat. Sebab seharian itu Paundra didera oleh banyak masalah pekerjaan. Malam itu ia tak bisa tidur. Tiba-tiba Rana mengejutkannya dari balik sofa. Pukul 00.45 WIB. Rana berusia enam tahun ketika itu. Berkat kesabaran dan perjuangan keras Riska, Rana mampu berkomunikasi secara baik dengan orang lain. Dan perkembangannya pun sangat baik. Meski demikian, Paundra sudah terlanjur kecewa dengan kondisi Rana yang tak sesuai dengan yang diharapkannya. Ia menginginkan anak yang sehat dan normal. Tak seperti Rana. Tidak. Namun malam itu, Rana mengubah segalanya. Setelah berhasil mengagetkan ayahnya, Rana berjalan ke hadapan Paundra lalu memeluknya dengan penuh kasih. Paundra tak bisa berkata apapun. Seketika segala keriuhan dalam kepala dan dadanya luruh. Pelukan Rana seolah berkata, “Papa, lepaskan semua kepenatan dan keletihanmu. Mari sini aku peluk.”

Malam itu Paundra berbunga-bunga. Hatinya jatuh pada Rana. Putri kecil yang selama ini ia acuhkan, justru memberinya cinta yang dalam, cinta tanpa syarat. Walaupun ia jarang sekali meluangkan waktu untuk bermain dan menemani Rana, namun Rana mencintainya.

Sejak saat itu, sebisa mungkin Paundra memangkas waktu kerjanya. Setiap hari, ia berusaha pulang sebelum sore tinggal selapis, dan membawa putrinya hanya untuk sekedar berjalan-jalan di taman kota, di bawah dentang Jam Gadang.

“Aku adalah kalender usang yang tak pernah berganti tahun. Terjebak dalam waktu yang terus berputar-putar mengitari angka yang selalu sama. Bisakah aku merobek sendiri angka-angka beserta kenangan yang membatu?”

Langit sudah kelam. Paundra bergegas, tapi tak menuju rumah. Ia melangkahkan kaki menuju sebuah surau, tempatnya dulu mengaji semasa kanak-kanak.

“Seperih inikah sebuah rasa kehilangan?” ia bertanya pada hatinya.

“Begitu cepat kau pergi, nak. Tidakkah kau tahu betapa aku baru saja mengenal cinta dalam bentuk yang lain. Cinta yang tak menyuguhkan luka. Cinta yang tak mengenal kepedihan. Kau pergi, saat aku tak siap akan kehilangan. Kau pergi, saat aku belum sempat melunasi segala penyesalan. Aku masih ingin bermain petak umpet denganmu. Masih ingin mendongengimu setiap malam dan mengantarmu hingga lelap dipeluk malam. Rana, aku ingin memelukmu, nak. Menebus semua kesalahanku.”

Kondisi Rana menurun tak lama setelah ia membuat ayahnya jatuh cinta lagi. Dokter memvonisnya menderita leukimia. Maka dimulailah petualangan itu. Paundra mengerahkan seluruh hati dan raganya untuk memperjuangkan Rana. Namun kehendak Tuhan berbicara lain. Rana menyelesaikan kisah hidupnya empat bulan setelah sore terakhiryang ia lewatkan bersama sang ayah di taman kota Jam Gadang. Sore itu Rana memaksa ayahnya untuk berjalan-jalan ke taman. Ia merengek hingga Paundra luluh dan mengabulkan keinginan Rana. “Sekali ini aja, Pa.” Pinta Rana saat itu. Ya, hanya sekali dan terakhir kalinya Paundra menghabiskan sore berdua dengan Rana di hadapan sebuah menara jam tua.

“Bagaimana aku bisa melupakanmu, nak. Masih ada pelukan yang belum kutuntaskan. Masih banyak dongeng yang belum kubacakan untukmu. Bagaimana bisa aku melangkah tanpa kecupan-kecupan kecilmu di wajahku. Bagaimana bisa, nak.” Paundra semakin kalut dengan hatinya. Setahun sudah berlalu, namun hatinya masih belum bisa melepaskan Rana sepenuhnya.

Paundra dikejutkan oleh usapan lembut di punggungnya. “Sudah sholat maghrib, pa?” tanya Riska yang tiba-tiba sudah ada di belakang Paundra. Istrinya itu selalu tahu kemana Paundra pergi bila hatinya sedang tak tenang. Surau yang tak jauh dari pusat kota Bukittinggi, tempat sebagian masa kecil Paundra pernah disuratkan disana, selalu menjadi tujuan terakhir Paundra untuk saat-saat seperti ini.

Digenggamnya tangan Riska dan menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu kita sholat dulu ya pa,” ajak Riska. Paundra menuruti Riska. Lalu mereka menuju bagian belakang surau untuk berwudhu.

Dalam sujudnya saat itu, Paundra mengirim pelukan-pelukannya untuk Rana. Mengirimkan segenap rindu dan rasa bersalah pada buah hatinya. “Masih banyak mimpi yang belum kulunasi, sayang. Kepergianmu membuat hari-hariku menjadi abu-abu. Waktu terus berlalu, dan bayangan wajahmu masih saja membuatku nyeri,” batin Paundra.

“Mari pulang, pa. Ga ada gunanya lagi papa terus menerus menenggelamkan diri dalam rasa bersalah itu. Akupun sangat kehilangan Rana. Kita sama-sama menyayanginya, tapi Allah lebih sayang sama Rana. Rana akan tetap hidup di hati kita, pa. Ayo, calon bayi dalam kandunganku ini sudah lelah. Dia ingin segera beristirahat di rumah,” ujar Riska sembari tersenyum.

Paundra mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak percaya. “Apa maksudmu?” tanya Paundra.

“Aku hamil 2 bulan pa”, jawab Riska sambil tersenyum.

“Kita pulang ya. Saatnya melangkah ke depan”. Riska berkata pada suaminya sambil mengulurkan tangannya. Paundra menyambut uluran tangan Riska dengan hati terbuka. Malam semakin matang. Dalam diam mereka saling berbincang dengan hati masing-masing. Di sepanjang jalan, Paundra merasakan langkah kakinya semakin ringan. Di ujung tapak-tapak kakinya, ia melihat wajah Rana tersenyum.

“Nak, kehilanganmu sama seperti kehilangan sebuah lengan. Itulah sebabnya setelah kamu pergi, pelukanku tak pernah tuntas, tak pernah lengkap. Tapi ibumu benar. Ini saatnya untuk melangkah ke depan. Kalau kamu masih ada, tentu kamu akan senang sekali karena ada adik yang akan menemani hari-harimu. Ah, Rana anakku. Dalam tiap langkah ini akan kucoba untuk menanggalkan satu per satu luka ini. Tapi tak menanggalkan segala rasa sayang yang sudah tertanam dalam hati ini. Biarlah, biarlah dirimu menjadi rahasia paling hening dalam setiap doa dan sujudku. Aku mencintaimu, nak.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun