Mohon tunggu...
Alul dE Conan
Alul dE Conan Mohon Tunggu... -

Lahir dan Besar Di Makassar, Entah Mo Jadi Seperti apa kelak...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sebaiknya Renungkan Kembali Mengapa Kita Harus ke Gunung?

7 Juni 2010   07:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:42 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia selalu takut akan bencana serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan olehnya namun tanpa disadarinya kerusakan yg paling parah justru berasal dari dalam manusia itu sendiri…alam bisa mengontrol dirinya sendiri sementara tanpa kita sadari bencana kemanusiaan yang paling parah justru berasal dari manusianya itu sendiri. Sosok pencinta alam sebagaimana yang kita ketahui adalah sosok yang diharapkan bisa menjadi pelopor dalam  menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamya mencakup bagaimana dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari namun ironisnya, sebagaimana yang kita lihat dalam realitas yang sementara berkembang justru sosok pencinta alam tidak (ataukah belum) berada dalam kondisi yang kita harapkan bersama (FAKTA).. Tidak ada yang salah dengan PENCINTA ALAMnya, sosok yang berada dalam PENCINTA ALAM tersebut yang tanpa dia sadari yang bertingkah seolah peduli namun kenyataannya tidak ambil pusing sama sekali akan keadaan tersebut. Alih-alih peduli akan Alam, peduli akan dirinya sendiri pun kita mungkin sepakat untuk mengatakan tidak!!! Apakah betul bisa kita katakan peduli apabila masih ada yang juga sosok pencinta alam yang masih mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang??? Apakah ini yang kita namakan cinta??? tak ada dasar sama sekali akan hubungan yang simetris tentang menjaga kelestarian lingkungan beserta kehidupan didalamnya dengan masih mengkonsumsi barang-barang haram tersebut. Belum lagi pengetahuan yang mendasar terkadang hanya dijadikan sebagai materi yang merupakan PROGRAM KERJA tanpa disadari akan pentingnya untuk dimiliki bagi setiap sosok tersebut. Bagaimana bisa untuk berbuat kalau kita tak tahu dan sama sekali tak paham??? Maka yang ada di dalam kepala sosok tsb hanyalah bagaimana untuk bisa SURVIVE ataukah keterampilan-keterampilan lainnya tanpa pernah mau untuk menyadari untuk apa dia harus pahami pengetahuan akan keterampilan tersebut. Apakah sosok pencinta alam tidak lagi harus belajar untuk mengetahui hal-hal yang lain selain daripada sekedar materi-materi keterampilan kepencintaalaman?? Sosok pencinta alam seolah-olah menjadi momok yang menakutkan dalam setiap sisi kehidupannya. Arogansi, solidaritas buta, dsb bisa kita ketemukan didalam sosok tsb. Bagaimana tidak??? Untuk bisa menjadi sosok pencinta alam harus melalui proses “diklat (atau apapun namanya)” yang notabene kekerasan bahkan”MENCABUT HAK ASASI MANUSIA” bisa kita temui di dalamnya. Berarti setiap sosok pencinta alam bisa berpeluang untuk menjadi penjahat Hak asasi manusia? Sangat kontradiksi dengan kata CINTA yang ada didalam nama PENCINTA ALAM tersebut. Tak ada yang salah dengan PENCINTA ALAM, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi mengerti apalagi sadar untuk apa dia berada didalam organisasi yang sebenarnya suci tersebut, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi untuk mendengar saran serta kritikan-kritikan dari luar seolah Cuma sosok pencinta alam saja manusia yang hidup. MANUSIA adalah Khalifah yang diturunkan untuk menjaga dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya, dan sosok pencinta alam bukanlah satu-satunya manusia di muka bumi ini. Seluruh warga bumi berhak untuk menjaga dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya. Percuma naik gunung jikalau menaklukkan diri sendiri saja sulit untuk dilakukan. Seharusnya segala sisi-sisi kelam manusia bisa dikeluarkan bersamaan dengan bercucurannya keringat yang menetes dalam perjalanan menuju ke puncak gunung. Puncak gunung yang sebenarnya justru berada dalam diri manusia itu sendiri. Rasa-rasanya memang betul perlu ditinjau kembali mengapa setiap sosok pencinta alam harus ke puncak gunung padahal alam bukan hanya gunung saja…pencinta alam bukan pencinta gunung. Seharusnya setiap sosok pencinta alam mulai sekarang harus bisa untuk membuka mata dan hati untuk bisa melihat bahwasanya untuk menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamnya harus berarti pula untuk bisa menjadi khalifah yang baik. Maksudnya, semoga bisa menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Mulai untuk membuka mata bahwasanya dengan memperhatikan manusia lain beserta kondisi disekelilingnya hal itu berarti langkah awal untuk menuju ke puncak gunung yang sebenarnya. Bukan puncak gunung yang biasa kita daki bersama. Jikalau tak berbenah dan segera mengevaluasi diri, bukan tidak mungkin PENCINTA ALAM bisa kehilangan kesuciannya didalam perjuangan yang sebenarnya mulia ini. Bagaimana di satu sisi bisa memanusiakan manusia dalam sebuah konteks kaderisasi  dan sementara disisi lain berperan aktif didalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Salam untuk sebuah perubahan yang kecil menuju sebuah perubahan yang lebih besar.  Mulia ataukah hinanya sebuah organisasi berawal dari kesadaran-kesadaran penghuninya yang membawa nama baik organisasinya. Karena sebenarnya kesalahan-kesalahan sosok bisa diindikasikan sebagai suatu kesalahan-kesalahan organisasi yang menaungi sosok tersebut. Berpijak dari hal yang kecil untuk kemudian dihadapkan dengan realita-realita  dan membentuk sebuah kesadaran kritis dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari.  Semoga ide-ide yang tulus akan selalu selaras dengan realita-realita yang baik. simak juga : Di Sini dan Di Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun