Organisator pujangga baru ialah Armijn Pane, adiknya Sanusi Pane yang tiga tahun lebih muda (lahir di Muarasipongi pada tahun 1908). Tahun 1923 ia mengunjungi sekolah kedokteran (STOVIA dan kemudian NIAS). Akan tetapi, keinginan hatinya tertumpu pada bahasa dan sastra, maka ia pindah ke AMS A-1 (sastra Barat) di Solo. Kemudian ia bergerak di surat kabar dan perguruan kebangsaan. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe.
Armijn terkenal sebagai pengarang roman Belenggu(1940), yang terbit pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe. Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya. Pihak yang pro menyokongnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan di belakang dinding-dinding kesopanan. Akan tetapi, keributan itu tidak menghalangi jalan roman ini untuk menjadi roman terpenting yang ditulis para pengarang pujangga baru. Sebelum menulis romannya itu, Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai, dan sandiwara. Cerpennya Barang Tiada Berharga dan sandiwaranya Lukisan Masa.
Cerpen yang ditulisnya sesudah perang, kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-Jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya yang berjudul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya yang tersebar, kemudian dikumpulkan juga dan dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda ,Armijin menulis Kort Overzicht vande modern Indonesische Literatuur (1949). Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh -- tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan para pengarang lain.
3. Amir Hamzah
Dalam lingkungan pujangga baru ada dua orang penyair yang dikenal sebagai penyair religious (keagamaan). Yang satu Amir Hamzah, Islam. Sedangkan yang satu lagi J.E. Tatengkeng, Kristen. Sebenarmnya keduanya tidak semata-mata menulis sajak. Keduanya juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa. Namun mereka lebih terkenal sebagai penyair. Amir Hamzah (1911 -- 1946) ialah seorang keturunan bangsawan Langkat di Sumatera Timur. Ia pergi sekolah ke Jawa, paling akhir sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, dengan dibiayai oleh pamannya yang menjadi Sultan Langkat. Di Jawa ia aktif juga dalam kegiatan-kegiatan gerakan kebangsaan. Ia pun bersama dengan Sutan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Akan tetapi, ia kemudian harus meninggalkan semuanya itu karena mendapat panggilan dari pamannya. Ia harus pulang ke Langkat dan menikah dengan salah seorang putri Sultan Langkat.
Sajak-sajaknya yang ditulis lebih dahulu, kemudian dikumpulkan dan diterbitkan juga dengan judul Buah Rindu (1941). Disamping kedua kumpulan sajaknya itu, Amir Hamzah menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari para penyair negri-negri tetangga seperti dari Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lainnya, berjudul Setanggi Timur (1939). Dalam majalah Poedjangga Baroe tahun 1-11 (1933-1942) ia pun mengumumkan terjemahan lengkap karya sastra klasik India Bhagavad Gita melalui bahasa Belanda. Karangan-karangan yang semula tersebar dalam majalah itu kemudian dikumpulkan dalam buku H.B. Jassin, yang berjudul Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Telaah Amir Hamzah tentang sastra Melayu lama dengan judul Sastra Melayu Lama dengan Tokoh-tokohnya terbit di Medan tahun 1941.
4. J.E. Tatengkeng
Jan Engelbert Tatengkeng lahir di Sangihe pada tanggal 19 Oktober 1907. Ia adalah seorang penyair beragama Kristen yang taat. Bahkan ketika anaknya meninggal selagi bayi, ia segera menganggapnya sebagai kehendak Tuhan yang dihadapinya dengan hati yang merasa dihibur pula oleh-Nya, seperti dapat kita baca dalam sajaknya 'Anakku'.
Sajak itu bersama dengan sejumlah sajak lain diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Rindu Dendam (1934). Isinya umumnya merupakan sajak-sajak kerindudendaman penyairnya terhadap Yang Satu, Tuhan Yang Maha Esa.
Rindu Dendamialah satu-satunya buku J.E. Tatengkeng yang pernah terbit. Tapi sebenarnya masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poegjangga Baroe.
Â