Asal mula pujangga baru sebagai satu fenomena kebudayaan dapat ditelusuri ke belakang pada organisasi-organisasi kebudayaann kaum muda nasionalis pada awal abad ke-20 di Indonesia. Organisasi tersebut, yaitu Jong Java yang dibentuk pada tahun 1915 di bawah pengayoman Budi Utomo yang bertujuan menyelenggarakan dan mengembangkan kesadaran dan pengertian kaum muda terpelajar Jawa akan warisan kebudayaan Jawa. Dalam tahun 1917 gerakan ini diikuti oleh Jong Sumatranen Bond, dengan tujuan yang sama. Akan tetapi, mereka juga menyadari adanya perbedaan etnis kedaerahannya, karena itu Jong Sumatranen Bond menyatakan bahwa tujuannya hendak mengembangkan kesadaran kesatuan identitas di antara orang-orang Sumatra melalui penggunaan kesenian, bahasa dan adat Sumatera.Â
Salah satu jalan guna mencapai tujuan itu ialah mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa umum yang mempersatukan orang-orang Sumatera adapun salah satu cara mengembangkan bahasa Melayu ialah menyebarkan kesadaran akan kesusastraan Melayu dan mendorong kaum muda Sumatera yang berpendidikan Belanda agar menulis dalam bahasa Melayu sebagai pernyataan identitas bersama kebudayaan mereka. Bahasa Melayu juga merupakan salah satu penyebab lahirnya puisi modern Indonesia karena bahasa Melayu-lah yang pertama kali digunakan sebagai bahasa puisi modern Indonesia.
Perkembangan dalam gerakan politik segera membuat komposisi dan pandangan organisasi pemuda berubah. Setelah 1924, Dr. Sutomo membentuk Indonesische Studieclub, terdapat hasrat yang makin meningkat pada semua organisasi yang berorientasi nasionalisme untuk bersatu pada Indonesia. Bagi gerakan-gerakan pemuda, ini berarti suatu dimensi baru dalam masalah identitas kebudayaan, karena jika kesetiaan mereka sejak itu tertuju pada Indonesia, tentu masalahnya bukan lagi hanya terbatas pada warisan kebudayaan Jawa dan Sumatera saja. Pada tahun 1926, Kongres Pemuda Indonesia yang pertama diadakan di Jakarta menegaskan persatuan semua gerakan kebudayaan nasionalis pemuda daerah sebagai suara pemuda Indonesia. Laporan mengenai kongres itu menggambarkan adanya kesepakatan pikiran, sehingga menghasilkan pendapat bahwa sudah tiba saatnya bagi masing-masing kelompok menganggap dirinya bukan saja pemuda Jawa atau Sumatera tetapi juga pemuda Indonesia. Dalam salah satu sidang kongres itu, Muhamad Yamin yang dalam tahun 1920 mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa kesatuan Sumatera, menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda mengenai "Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia di masa depan". Bahasa kesatuan tradisi kebudayaan yang tampak dalam kesusastraanya memberikan sumbangan penting dalam mewujudkan cita-cita baru.
Karya Sastra Dan Pengarang Periode 1933-1942
1. Sutan Takdir Alisjahbana
 Pejuang yang bersemangat dalam gerakan pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisjahbana yang lahir pada perayaan Natal pada tahun 1908. Ia telah berkarya sejak tahun 1929 muncul dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu ketika menerbitkan romannya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Roman kedua yang ditulisnya berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) dan yang ketiga berjudul Layar Terkembang (1936). Roman yang berjudul Anak Perawan Di Sarang Penyamun (1940) ditulisnya lebih dahulu daripada Layar Terkembang dan dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Pandji Poestaka.Tiga puluh tahun kemudian konon Takdir menulis sebuah roman pula berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60.
Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting dan dianggap sebagai puncak karya sastra Pujangga Baru. Roman ini jelas bukan roman sekedar bacaan perintang waktu, melainkan sebuah roman bertendensi. Roman Layar Terkembang juga sebenarnya merupakan jelmaan dari beberapa pikiran Takdir yang dituangkan ke dalam bentuk cerita.
Takdir juga terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina bahasa Indonesia. Atas inisiatif Takdir melalui Poedjangga Baroe-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia (1947 -- 1952). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan-tulisannya yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).
Â
Â
2. Armijn Pane