Kebijakan penggantian ujian nasional (UN) menjadi Assesmen Kompetensi Minimum (AKM) sudah mulai disosialisasikan dan diuji cobakan secara gencar oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan.
Sosialisasi ini diharapkan mampu mencerahkan semua pihak mengenai esesni dari pelaksanaan AKM ini, tidak terkecuali orang tua, siswa, dan tentu saja guru selaku pelaku pendidikan di tataran teknis.
Seperti sudah diketahui, format pelaksanaan dan esesni dari AKM ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan UN. Pada AKM tidak terlalu menguji penguasaan konten suatu mata pelajaran, melainkan menguji keterampilan dasar, seperti literasi dan numerasi.
AKM pun dilaksanakan dengan tujuan mengevaluasi proses pembelajaran yang dilaksanakan satuan pendidikan dan tidak menjadi syarat kelulusan bagi siswa. Dengan demikian, penting dipahami oleh bersama bahwa hasil AKM ini akan dijadikan untuk perbaikan proses pembelajaran pada satuan pendidikan, bukan untuk kelulusan atau syarat seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, sekolah, guru, siswa, dan orang tua tidak perlu "mensakralkan" AKM seperti halnya yang sering terjadi pada pelaksanaan UN. Siswa tidak perlu stres menghadapi AKM dan orang tua pun tidak perlu terlalu mengkhwatirkan anaknya ketika akan menghadapi AKM.
Sekolah dan guru pun tidak perlu "mensakralkan" AKM dengan membuat program pembelajaran tambahan dengan sistem drilling soal yang justru akan menghilangkan esesnsi dari tujuan AKM yang mengevaluasi proses pembelajaran di kelas yang dilaksanakan oleh guru, bukan mengevaluasi program pembelajaran yang bersifat insidental.
Lalu apa yang harus dilakukan Sekolah, Guru, dan Siswa dalam menghadapi AKM ini?
Re-desain proses pembelajaran menjadi salah satu bentuk respon kebijakan AKM ini. Re desain proses pembelajaran mencoba mengubah proses pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan siswa dan zaman.
Diakui atau tidak, proses pembelajaran yang selama ini dilaksanakan di kelas menitik beratkan pada orientasi hasil berupa nilai dan ketuntasan konten pelajaran.
Hal tersebut menyebabkan guru seolah dikejar waktu untuk menyelesaikan segudang materi dan konten pelajaran agar segera bisa selesai tepat waktu. Kondisi ini secara tidak langsung memaksa guru melakukan pembelajaran yang bersifat transfer knowledge saja dan memberikan porsi yang sedikit pada pengembangan aspek lain, seperti keterampilan dasar yang harus dikuasi oleh siswa.
Kini, saatnya desain pembelajaran tidak lagi hanya berorietnasi pada penyelesaian materi dan konten pelajaran. Lebih dari itu, pembelajaran harus mulai memberikan porsi yang besar pada pengembangan keterampilan dasar, seperti literasi dan numerasi.
Sudah saatnya pembelajaran yang dilaksanakan di kelas membawa tema-tema atau permasalahan kontekstual yang bertujuan melatih kepekaan siswa akan kondisi yang terjadi di sekitarnya.
Pada setiap pembelajaran pun, siswa perlu dilatih untuk memahami permasalahan secara utuh, dan dilatih agar mampu berpikir secara sistematis untuk menyelesaikan permasalahn tersebut.
Dan yang tidak kalah penting, siswa pun harus dilatih dan dibiasakan untuk membaca, memahami, dan menginterpretasi data. Era big data menghadirkan komoditas data yang melimpah dan mudah diakses setiap saat.
Jika siswa tidak terbiasa dan dilatih membaca data, maka dampak jangka pendek yang bisa langsung terasa adalah munculnya banyak informasi yang salah (misinformasi) karena salah menginterpretasi data yang ada.
Oleh karena itu, desain proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas perlu menghadirkan aktivitas yang memfasilitasi siswa dalam membaca, dan memahami data. Dan tentunya menarik kesimpulan yang benar dan tepat dari analisis data tersebut.
Untuk menghadirkan desain proses pembelajaran yang demikian, guru perlu menekankan aktivitasi literasi kepada para siswa. Guru harus memberikan bahan bacaan yang tidak sekedar berisi informasi konten saja, tetapi bahan bacaan yang lebih bersifat kontekstual dan aktual.
Guru pun harus menekankan bahwa esensi literasi itu bukan sekedar bisa menceritakan kembali isi dari bacaan. Lebih dari itu, literasi menekankan pada kemampuan mencari, menentukan, dan memilih informasi yang relevan.
Literasi pun menekankan pada kemampuan siswa dalam menyusun inferensi, membuat koneksi dan prediksi. Â Dan pada tingkat yang lebih tinggi lagi, kegiatan literasi ini harus mengasahkan kemampuan siswa dalam menilai kualitas dan kredibilitas informasi yang disajikan.
Dengan demikian, adanya AKM ini memberikan kesempatan pada Sekolah dan guru untuk terus meningkatkan kualitas proses pembelajaran melalui berbagai desain pembelajaran yang tidak sekedar beroritentasi pada konten, hasil berupa nilai dan transfer pengetahuan saja.
Mari sambut positif AKM dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran, dan tidak mensakralkannya dengan program-program insidental yang justru akan menghilangkan esesni dari pelaksanaan AKM itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H