Aku mengadahkan wajahku ke atas langit-langit kamar, sebuah platform putih yang kasar terpasang tepat diatasku, sebuah lampu yang saat ini ku matikan, dan beberapa hiasan-hiasan dinding di sebelahku.
Semuanya terasa lengkap, dengan tempat tidur dan meja belajar. Namun, aku tidak menemukan arti dari semua ini. Semakin sering aku melihatnya maka semakin berkuranglah rasa keasadaranku akan hal-hal itu.
Mungkin awalnya aku bisa merasakan bersyukur, dengan jiwa dan raga yang masih sehat. Tapi, semakin lama ditempat ini aku menyadari bahwa aku benar-benar terkurung dan tidak bisa kemana-mana. Diriku bagaikan sebuah burung yang berada disangkarnya, tidak bisa terbang jauh menjelajahi langit, tidak bisa merasakan dan menemui hal lain di sana. Hanya terkurung diam dan tidak bebas.
Teriakan merdu serta elok corak tubuhnya hanyalah sebagai hiasan, untuk keindahan dan kenyamanan orang yang melihatnya sekilas. Sisanya ia tidak bisa kemana-mana.
Sekolah sedang libur beberapa bulan ini. Semenjak virus itu menyebar dan menginfeksi banyak orang, pemerintah melakukan lockdown yang membuat orang-orang tidak bisa lagi berjalan keluar menjelajahi dunia.
Orang yang keluar atau menerima tamu biasanya langsung terinfeksi dengan virus tersebut. tak jarang orang-orang menjadi ragu dan takut dengan pemeriksaan kesehatan, orang bisa saja dibawa secara paksa ke rumah sakit dan menelan beberapa pil obat sebelum virus merenggut seluruh tubuhnya.
Jeritan demi jeritan terdengar, suara sirine ambulans menjadi satu-satunya suara yang paling sering ku dengar.
Aku duduk bersandar dengan sandaran kursiku, kakiku terangkat ke atas meja dan melihat jendela. Dunia luar yang gelap dan suram, mencekam bagaikan sebuah tempat dimana tidak ada harapan hidup disana.
Aku hanya tersenyum, melihat bagaimana kehidupan perlahan-lahan membuat diriku menjadi gila. Di dalam pikiranku hanya terdengar suara-suara yang mengatakan terobos, terobos, terobos
Tak mengerti maksudnya, tapi aku sering mendengar teman-temanku akhirnya mengabaikan lockdown itu, mereka memilih untuk keluar dan menghadapi segala ancaman yang ada.
Sebenarnya aku cukup tertarik dengan hal itu. aku bahkan seringkali berencana untuk keluar dari rumah ini dan pergi ke suatu tempat. Entah itu kafe langgananku, atau setidaknya tempat kami nongkrong pada biasanya, atau lain sebagainya.
Membuka ponselku sama saja dengan bunuh diri, entah mengapa saat ini hal itu menjadi sebuah candu bagiku. Melihat ponsel bisa saja ku habiskan berjam-jam bahkan seharian. Minimnya aktivitas diluar ruangan dan stress mentalku terkurung di ruangan ini membuat aku membutuhkan sebuah peningkat dopamine instant dari aplikasi sosial mediaku.
Sial.. siallll….
Aku meletakan ponselku, dengan sedikit bantingan. Aku berdiri, menyiapkan jaketku, dan membawa beberapa barang yang kuperlukan. Dan pada hari itu, tepatnya setelah empat bulan aku sama sekali tidak pergi kemana-mana, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kamar itu.
Selamat tinggal..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H