" yang takut kecoa itu bukan aku itu kakak lelakimu " ejek Kartika kepadaku
"Aku hanya takut ular tahu" kami semua tertawa  bersamaÂ
Bau udara pengap dan kotor seakan mewarnai rumah bercat biru itu dan aku maklum karena hanya seminggu sekali dibersihkan oleh bapak dan ibu itupun kalau ada waktu senggang kami anak-anaknya  sesekali hanya menengok  juga namun karena kesibukan bapak di  luar kota dan juga ibu bila tidak ada bapak yang ajak tidak mau hanya menyuruh kami yang muda untuk membersihkannya.
Beberapa jendela kami buka agar udara itu kembali baru dan bau pengap itu hilang dan ruangan luas yang masih bagus untuk golongan rumah sekarang penuh kenangan bapak dengan enam bersaudaranya, bapak tegas karena ayahnya dulu adalah seorang tentara dan semua tampak dari kerapian rumah besar peninggalan nenek kami ini.
Aku tidak habis pikir mengapa bapak tidak mengajak kami sekeluarga di Jogja untuk tinggal di rumah Godean ini alasan apa aku tidak tahu hanya sebagian saudara bapak ada yang  jadi orang di Jakarta bapak memilih jadi orang biasa  menjadi guru sekolah dasar di Yogya ini.
Ibu juga dulu sekolah guru hanya membantu sebagai guru biasa di sebuah taman kanak-kanak di desa kami.
"Mengapa bapak tidak pernah mau mengajak kami dirumah nenek untuk tinggal dirumah besar ini?" pertanyaanku  hanya disambut senyum dan bapak hanya berkata
"Suatu ketika kamu akan tahu sendiri nak" jawabnya kepada aku
Aku kaget ketika adik berteriak buat lamunanku buyar sebab mengapa karena masa kecilku ketika nenek masih sugeng aku dilahirkan disini sebagai anak bungsu bapak masih menemani nenek sampai akhir hayatnya dan itu membekas karena sampai umur lima tahun aku disini bersama nenek yang masih sehat kala itu
"Kakak ayo siapkan semua untuk membersihkan  gudang itu "seru Nur kepadaku
Aku dan kartika tidak terduga menemukan beberapa kliping koran dan tulisan dari nenek yang kebetulan juga seorang guru tulisannya masih bisa dibaca oleh kami rapi dan mudah memahaminya.