3. Iklim investasi yang tersendat
4. Banyak PSN yang korbankan banyak sawah dan tanah rakyat
5. Mahalnya biaya pendidikan di Jogja
6. UMR yang rendah'
7. Hilangnya  rasa nduweni Jogja
8. Banyak pengusaha luar Jogja yang punya usaha di sini kurang peduli kepada rakyat asli
9. Kemana dana desa dan dana keistimewaan yang sudah terkucur kok belum bisa buat kontribusi naikkan perekonomian rakyat?
Sembilan inilah yang saya rasakan ketika pandemi covid menerjang Jogja banyak pemilik kost-kostan( orang luar jogja pula) yang bangkrut dan menjual kostannya, banyak  penjual angkringan  tergusur oleh waralaba dari Jakarta, banyak warung kecil tergusur waralaba dari Jakarta, banyak tukang becak dan andong yang tergusur oleh ojek aplikasi.
Sebagaian contoh yang bisa saya utarakan teruatama di dunia pendidikan ada pembedaan jauh gaji PPK, PNS, ASN dan GTY ini dari status dan ada yang takmasuk akal ada zero penerimaan guru ( swasta) pula dan semakin jauh dari panggang adalah tidak di kalukulasinya bahwa banyak guru GTY yang tidak atau belum ada subsidi langsung dari pemerintah Jogja. ( belum dipikirkan ini)
Prehatin sekali lagi prehatin  laagi kalau saya melihat baliha di depana kelurahan banyak RAPBK yang milyaran  rupiah kuwi malyu atau lari keman duitnya? dan  ini adalh realita yang ada di balaik ini bagaiamana semua pemanggku, pejabat dapat sekali lagi dapata minimalkan stigma miskin ini.
Jogja dalam perubahan besar sosial, budaya dan ekonomi sudah di depan mata kita dengan PSN jalan Tol yang korbankan banyak lahan sawah rakyat maka bisa jadi ini kontrubusi negatif "okeh wong nganggur"