Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Temaram Senja di Ujung Malioboro

6 November 2022   11:31 Diperbarui: 6 November 2022   11:33 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Temaram senja di ujung Malioboro

Sepertinya rasa itu mulai hilangSetengah nafasku seakan hilang
Kita harus maju
Menuju kota masa depan
Yang kedepankan prestese daripada nurani
Semua yang kumuh harap minggir
Demi tata kota yang cantik
Semua menjadi genit
Sebelum semua terlanjur sunyi
Setelah hiruk pikuk pagi dan sore didera kemacetan setengah abadi

....
Aku duduk diantara kursi setengah hindis setengah kolonial  gayanya. Dulu teriak tukang parkir ini masih terdengar didepan toko dan pasar Beringharjo ini.


Dulu masih terdengar suara guyon pengemudi becak kayuh dan guyub. Angkringan berubah cafe, sedang tukang becak diganti ojek online. Sementara kusir dan andongnya di ganti taksi dan travel.
"Semua masih di pertahankan" kata sang penguasa kebenaran.


"Mempertahankan secuil hajat hidup orang banyak?" Tanyaku
"Asal mereka bisa senyum beres to mas?" Aku diam pantes mantan walikota yang kaya itu masih mau ngopeni duit receh pengusaha.

Baca juga: Gerimis Malioboro


Aku diam kemajuan bukan dilihat dari

Senja diujung kota yang sedang berubah walau kestatisannya mulai luntur.
'Kabeh, semua dinamis mas,"kata mas Bagong kepadaku.

 Mas Bagong langganan angkringanku masih setia walau harus manut untuk pindah sana dan sini.

Baca juga: Malioboro Kini


"Trotoar di bangun pedestrian untuk dinikmati tapa terganggu teriakan pengasong dan nyanyian pengamen"
"Niku, itu lebih bagud to mas?"
"Ning niku, ya itu kehilangan ranah, rasa sosialnya"
"Mereka lupa, bahwa dibalik tenda PKL itu ada nilai yang mulai pudar"
"Tidak juga mas wong saya juga masih bisa cari makan "


Tawa kami pecah rasanya masih banyak sedulur, saudara yang entah buat aku sebenarnya tidak bosen untuk bersilahturahmi jalanan ini.


"Mas gatot sudah tak tunggu di depan Pasar beringharjo" tulis pesan Genduk ndari  di hpku yang buat mood ku hilang karena teh panasnya belum juga aku habiskan.

"Maaf mas bagong  semua berapa?"
"Sepuluh ribu saja"
"Ini duapuluh ribu"
"Masih kembali mas..."
"Ambil saja"
Jogja sedang berubah menuju jalanan sunyi pedestrian karena klasiknya masalah kemacetan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun