Hargai  Karya tulis bukan dengan uang  recehan  Â
Sayyid jumianto
Waktu menjadikan seseorang profesional dalam mencari kehidupannya, ketika sebuah karya di ngamenkannya satu media ke media lainnya.
Dulu harus berjibaku ketika media online belumlah menjamur seperti sekarang koran lokal harapan satu-satunya karena tanpa ongkos perangko yang sungguh bisa untuk sekedar makan minum di angkringan  medio 1995 sampai 2000an di Jogja ini.
Sungguh aku tahu bukan pelit sang redaksi tetapi karya bermutu yang tergunting kolom dan tajamnya kriteria para redaksi mengoreksinya
Itu dulu
Sekarang karya recehan banyak bertebaran dengan janji manis para redaktur online dengan iming-iming point dan kontrak kerja.Â
Banyak platfom media online yang rindu dendam dengan para penulis dan yang mereka butuhkan adalah penulis yang mudah dan murah serta tanpa kejelasan apa itu sistem point dan nilai rupiahnya.
Saya menulis ini karena semua orang bisalah hargai tukang parkir, tukang kebersihan kampung dan pengamen-pengamen tua di pinggir jalanan, karena mereka hidupnya dari kerja ngamennya iru.
Setiap orang senang membaca juga menulis harus diakui menulis tidak semudah membaca tetapi menulis wajib membaca juga.
Kembali lagi penulis, sastrawan, esayis adalah juga pekerja informal yang bisa jadi sambilan dari kerja lainnya tetapi juga bisa jadi pokok karena bisanya menulis.
Harapan tidak sesuai kenyataan
Banyak platform media online yang ambigiu butuh tetapi tidak jujur dalam hargai sebuah karya.
Banyak yang aturannya muluk-muluk dilanggar sendiri dan banyak juga penghargaan tidak sesuai kontrak (kalau ada kontrak)lebih sakit yang penulis lepas kadang lupa makan, dan lupa habis kuota datanya karena tidak satupun dihargai karyanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H