Sayyid jumianto
bandara YIA Yogya kangenku belum pupus.
Waktu belumlah cukup untuk bertemu, sejam rasanya setahun menanti pupus, di
"Oktober yang hujan" katamu padaku
"Ini baru pertemuan kita pertama sejak pandemi itu"tercekat rasanya mulut ini untuk sekedar berucap pelan.
"Pandemi yang pernah semua alami" kataku menjawab pelan.
"Yang buatku serasa terusir dari sini"jawabmu pelan.
Rasanya baru kemarin ketika semua harus takluk pada virus corona ini.
"Bukan alasan lagi untuk tangisi semua sudah berlalu cepat""kata-kata itu tidak dilanjutkannya. Sepinya kantin bandara seakan tasbihkan semua karena jeda keadaan ini. Hampir duapuluh menit kereta bandara itu datang untuk menjemput kami berdua.
Jogja semakin mudah dijangkau sejak bandara YIA beroperasi bisa langsung arah jantung kota revolusi ini.
 Menunggu trem kereta api bandara serasa di Tokyo tenang, dan tidak gaduh karena satu-satunya kereta yang langsung arah bandara ini.Â
Ingatkan aku waktu kuliah harus berjibaku kearah pantai Glagah di selatan bandara YIA.Â
Bukan kekasih atau yang tercinta tetapi kekancan saklawase itu setiap teman yang dolan ke Jogja selalu beritahu aku tujuannya untuk ke sini.
"Tetapi aku yakin istri mas bisa marah bila yang dijemput cantik begini"katanya padaku setengah berbisik.Â
"Bener sayang, kamu tetap awet muda dan sedikit .."aku diam dia bertanya padaku"sedikit apa mas?