Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Penjual Hujan

26 September 2021   16:28 Diperbarui: 26 September 2021   16:59 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki penjual hujan

Sayyid jumianto

Waktu sudah sore hampir jam dua siang gerimis dibulan september ini seakan menjadi nyata. 

Gerimis yang akhirnya berubah menjadi hujan lebat hitam pekat mendung dan kilat petir seakan menyambut titik-titiknya menghujam bumi. 

September ujung kemarau yang aneh, semua kesepian itu menyergap membuat halu semua orang. 

Malioboro yang biasanya ramai jadi lenggang, sepi, tiada pelancong datang. Coba direnungkannya sebab semua ini dulu sehari bisa dapatkanya uang limapuluhribuan rupiah untuk sekedar bisa bahagian diri dan makan hari itu.

 Siang ini selembar limaribuan baru digenggamnya, receh, tetapi berarti buatnya. 

Rasa untuk salahkan keadaan coba ditepisnya, apalagi salahkan nasibnya, sekarang yang ada kenyataan yang harus dihadapinya, "kita harus siapkan skill, sumberdaya yang kuat mentalnya, serta modal kuat yang ada pada diri kita, kepercayaan" itu yang didengarnya kala kuliah dulu yang sudah dilaluinya bertahun yang lalu 

"sastra itu tidak bisa untuk golek duit mas" kata adikku dulu" mending yang pasti-pasti saja" kata kakakku. Mantap hatiku, untuk tetap kuliah, kami berusaha sendiri, mencari hidup dan lanjutkan kuliah ini. 

Waktu memang berlalu cepat misal dan misal bisa aku berubah cepat, bukan aku munafik atas semua pemberian kakak dan adikku yang telah sukses tetapi aku malu untuk tampakan ketidak beruntunganku.

 Saat aku memutuskan menulis dan bantu jual koran tempatku menulis semua orang tidak percaya, banyak tulisan yang tidak bisa diterbitkan, tetapi buatku bisa tersenyum ketika hasil jualan koran ini bisa tunjukkan aku buat membayar kuliah saat itu.

"Kamu terlalu idealis mas, kita hari ini mau sulap proyek kementerian ini jadi bisnis kita" itu kata temanku ketika aku menolak untuk diikutkan membuat naskah kacangan demi proyek itu.

 "Semua orang punya idealisme mas, semua orang punya kebanggaan" jawabku singkat. Lalu plass teman kuliahku itu tidak pernah lagi hubungi aku dan bak hilang ditelan bumi. 

"Semua orang harusnya punya cekelan, peganggan dan prinsip, tetapi kesempatan emas itu mengapa selalu luput dan di lepas?"

 Aku selalu berontak, selalu aku benturkan hati dan nafsuku dan akhirnya semua menjadi layaknya debu di hujan september ini.

"Menulis dengan tema ditentukan demi sponsor, demi dan demi lainnya tidak apa-apa mas tetapi cobalah di rem idealisme njenengan" kata seorang penerbit yang coba bujuk aku untuk nulis tentang trend kekinian yang rasanya buat perutku mual dan mau muntah. 

"Saya idenya bisanya ini" dan lepas lagi kesempatan ini benar adanya.

Rintik hujan di pinggir trotoar ini membuatku semakin dingin, hidup tidak harus nglebus bila lupa bawa payung atau jas hujan, tabahkan karena hujan juga punya manfaat bagi semuanya. 

Jogja ini seakan jadi saksi bisu buatku, selalu ingatkan aku tentang, prinsip, gotong royong dan empati , pandemi ini seakan berbanding tegak lurus, ppkm, level itu pernah runtuhkan diri dan harga diri. 

"Semua harus sanggup jadi relawan covid ini" lantang pejabat desa waktu itu ajak kami ikuti prokes."jangan lupa vaksin". Kata mereka lantang. 

"Masihkah kamu tegar untuk perjuangkan prinsipmu itu?" Kata kakak dan adikku ketika pandemi korona ini betul-betul memukul roda ekonomi kami, "tulisanmu tidak laku, novel independentmu juga tidak pernah ada yang baca, cerpenmu...cuma dilirik segelintir orang" sadar aku sadar tetap aku nikmati sebagai proses walau rasanya hari ini aku mau menangis bila lihat raut wajah istriku dirumah nanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun