Jejak Bapak, 1965 : Idealisme itu (03)
Sayyid jumianto
Sungguh semua ada karena tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga kami. Tahun 1960a adalah tahun sulit bagi negeri ini gencetan masalah ekonomi dan perubahan panggung politik yang sedikit banyak pengaruhi kehidupan sosial ekonomi kami sekeluarga.
 "Semua harus diperjuangkan"kata bapak waktu kami sore itu makan bersama. Sedikit rayakan keberhasilan bapak menjual satu lukisan yang itu saja harus lewat seorang perantara untuk sampai kepada orang kaya yang melihat lukisan bapak di sanggar lukis tempat bapak bernaung.Â
Agak sedikit makan enak karena bapak belikan kami sate ayam cak dul depan terminal lama yang laris. 'Memperjuangkan asa itu harus dimulai dari niat " kata bapak lagi. Itulah percakapan bapak ketika selo dan tidak sibuk di sanggar lukisnya bersama-sama beberapa orang yang aku tahu teman bapak itu orang-orang dari partai komunis kala itu.Â
Ibu sebenarnya sudah ingatkan bahwa  tentang ini tetapi bapak kekueh punya prinsip sendiri. "Apakah harus saya ikutin ideologi mereka?" Tanya bapak ketika ibu coba menanyakan tentang sanggar yang bapak ikuti itu.Â
Kami hanya mendengar bahwa organisasi ini mempunyai kekuatan tersendiri untuk nego hasil karya mereka dan untuk bahan atau alat juga mensuport mereka yang ada di sanggar ini. Walau kadang aku tahu bapak beli sendiri juga kanvas dengan catnya secara mandiri.
Semula aku tak yakin seorang seniman lukis bisa jadi singa politik untuk kritisi pemerintah, aku tidak menduga itu.
 Coretan dan mural di tengah kota seakan mereka berkata untuk perjuangkan nasib rakyat yang tidak menentu ekonominya
"Apakah harus sang pandai besi jadi besi dulu untuk buat parang dan sabit?" Idealisme bapak inilah yang sungguh aku baru tahu.Â
"Apakah orang-orang Jakarta sana beri makan kita?"kata bapak lagi pada kami. Benar adanya PKI tumbuh subur bahkan jadi partai politik pemenang ke empat semakin banyak pengikutnya karena PKI tahu kemiskinan dan ketidak percayaan kepada pemerintah serta ketimpangan kaya miskin jadi penentu banyaknya pengikutnya saat itu.
Bapak tidak seterkenal pelukis-pelukis istana yang hanya berkarya ketika menerima pesanan para pejabat negara.
 Idealisme itulah yang selalu buat kami takjub, membela yang papa, menegakkan ekonomi berdiri dikaki sendiri serta tidak tunduk pada lekuk dan liku kekuasaan saat itu.
Kebebasan yang selalu buat kuping penguasa merah bila mendengarnya. Kebebasan berkarya walau terhimpin beban ekonomi dan sosial yang tidak mendukung keadaan waktu membuat semua orang terlena janji-janji surga PKI kala itu.
Bukan ku ingatkan tentang bulan september ini yang sungguh bulan paling pilu buat bangsa ini. Apakah kamu tidak mau tahu bahwa kekuasaan, ideilogi dan sosial ekonomi itulah menjadi sumbu pendek sampai kini adanya.
Memamg jauh sekarang petualang-petualang politik lebih canggih daripada diera tahun 1960an semua memang beda. Kesempatan dan peluang itu tetap ada untuk memperjuangkan ideologi serta partainya demi kekuasaan yang akan datang.
#cerpen septemberÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H