Apalagi setelah seorang kawan dekatnya disekolah dulu mengikutkannya  disebuah organisasi sosial yang buat bapak semakin yakin untuk melukis sebagai lahan hidupnya.
"Menikmati proses adalah kunci hidup "kata bapak kala itu.Â
"Tetapi tetap bersyukur adalah lebih utama daripada ngongso( tamak) dan kikir"imbuhnya lagi pada kami dirumah.
Kerja keras
Seluruh keluarga bekerja keras untuk hidup di tahun 1960an ini karena sudah duapuluhan tahun merdeka keadaan belum sepenuhnya bagus terutama di bidang ekonomi dan sosial, karena politik masih sebagai panglima dinegeri ini.
Keadaan memaksa kami dan bapak untuk bekerja keras konon sanggar seni lukis bapak hasil karyanya bisa sampai istana dan orang-orang borjuis kala itu orang kaya dan saudagar cinalah yang mengoleksinya untuk dipajang dirumah mereka saat itu.
Sedang aku dan kakak sedikit mandiri, membatu ibu untuk jual beli sedikit hasil bumi yang dibawa petani dari desa, kelapa, pepaya, sukun, dan pisang. Bila musim rambutan atau mangga lebih banyak lagi yang ibu dapat untuk dijual ke pedagang besar atau pembeli langsung padanya.
"Bukan berarti bapak ajarin kalian dagang atau melukis bapak minta kamu berdua punya cita-cita setinggi langit" kata bapak pada kami "biar jatuhnya diantara bintang-bintang di langit" imbuhnya menyitir pernyaan presiden pertama negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H