Sayyid jumianto
Warung itu tidak pernah sepi, pagi, siang sampai malam. Canda ria, kopi, rokok dan goreng pisang jadi saksi bisu. Warung memang sengaja buka hampir dua puluh empat jam ada di mbulak desa kami.
 Tepatnya perempatan ladang sawah yang ada sebelum masuk desa kami. Sego kucing, ada dua pilihan sego kucing isi teri dan tempe pedes juga ada sate endog  gemak, usus, serta sate tempe gembus.
 Minumannya ala kafe ada berbagai minuman yang mau dipilih kecuali miras tentunya.
Air putih gratis, yang cocok waktu malam kopi kental dengan guka jawanya, semua bisa tersenyum lepas diwarung ini.
Walau ppkm tetap laris karena layani take away, bayar bawa pulang, dan juga layani order makan minum lewar grup WA.
 Semua untuk ngawekani karena warung ini pernah di gerudug oleh yang berwenang harus patuhi prokes mas di depan itu ada baliho besar yang dipasang dengan foto pemilik warung.Â
"Monggo mampir, lapar ayo!" Tulis diposternya sambil ada foto menu favorit di warung tersebut.
Siangnya lebih ramai karena warung tersebut juga jadi jujugan untuk sekedar jampi sayah para penjual unggas dan burung.Â
Sehingga banyak orang yang selalu mampir lihat burung koleksi yang dia miliki juga.
 "Kalau siang banyak penjual burung sungguh asyik adanya"kata seorang pengunjung yang disitu kagum dengan suasana yang ada.Â
"Apalagi kalau malam disini juga lebih banyak burung mampir" kata si pemilik warung membuat ger semua pengunjung yang lesehan di warung ini.
 "Tidak takut sama burung?" Semua tertawa dengar pertanyaan ini.
 "Siapa takut" jawabnya manteb sungguh bisa cairkan suasana saat itu.
Aku baru ngeh dan tahu ternyata pemiliknya dulu mantan preman zaman Soeharto entah insyaf atau belum tetapi bisa dipilih jadi kepala desa di desa kami.
 Itu kata orang tua kami dan cerita para sesepuh, aku baru tahu karena itulah aku sedikit usir rasa penasarannya ini.
 "Jangan tanya pemilik warungnya ya "kata seorang yang sudah kami anggap tua di situ.Â
Semakin buat aku penasaran ini. "Dia juga akhirnya jadi anggota DPR" aku tambah ilmu lagi.
Semua seperti biasana gelak tawa pengunjung jadi saksi. Warung itu tidak pernah sepi walau menunya sederhana dan selalu ngangeni kata sebagaian orang.
 Aku salut dengan perjuangan wanita janda seseorang yang mungkin berjasa bagi desa kami.Â
Wanita penjual burung itulah yang mereka maksud sederhana, apa adanya, raut wajahya tidak pernah di glowingkan tetap cantik dengan tiga orang yang membantunya tanpa wigah wigih untuk membantu sesama seperti almarhum suaminya dulu.
"Omonng-omong kok pelihara banyak burung di warung mba?" Tanyaku padanya
 "nggih koleksi mas, karena aku suka burung saja "alasan simpelnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI