Sayyid jumianto
Waktu telah berlalu kenapa aku resign sementara dari bengkel motor di kota akhir sedikit terjawab.
 Aku ingin buka bengkel pribadi, aku ingin buktikan di kampung nelayan yang sederhana ini aku ingin semua bisa ceria, membantu memperbaiki mesin kapal ngakali yang rusak dan tidak usah beli mesin kapal baru.
 Seperti tantangan untuk hidupkan mesin fresser pembuat es balok ini. Sungguh tantangan buatku hampir dua puluh tahuna kata bapak mesin ini mangkrak, sehingga hasil tangkapan ikan harus di jual murah pada tengkulak.
Inilah yang membuat nelayan kecil tidak bisa tentukan harga karena takut busuk ikannya bila menunggu pedagang dari kota esok harinya. Sungguh pedagang besar, tengkulak besar serta pemilik kapal besar tidak mau tahu.
 Pemilik dan pemodal besar mereka seenaknya saja menghargai ikan tangkapan nelayan karena mereka punya armada monopoli sendiri, armada milik dan kuasa sendiri yang ada.
"Kudune, harusnya semua bisa diperjuangkan tetapi mengapa setelah hampir tujuh presiden pabrik es ini tidak pernah diurus lagi le, alasan klasik tidak ada dananya!"kata bapak pada kakak.Â
Angin laut ini menjadi petunjuk musim labuh segera datang, labuhan yang ramai, pasar malam yamg riang tidak ada lagi alasannya satu pandemi virus korona.
 Sepi semua hajatan tidak seriang dulu ada organ tunggal nyanyian biduan pantura tidak terdengar lagi.
 "Beberapa jadi zona merah lagi karena longgarnya hajatan pernikahan dan juga dampaknya mudik lebaram kemarin semakin buat sepi semua di desa kami.
Kakak yang mencoba tulus membantu hidupkan mesin freser ini seakan menemukan "musuh baru" seperti waktu dulu tenggelamnya kapal bapak karena di salahin orang lain yang iri pada kami tetapi ternyata mesin kapal bapak dan ombak besarlah yang hempaskan kapal kami.