Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Pantai (7)

16 Mei 2021   18:31 Diperbarui: 16 Mei 2021   18:36 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak pantai (7)

Keceriaan lebaran minggu ini masih terasa pantai yang sepi berubah sedikit ramai. Pengunjung wisatawan lokal bagai semut mengintati gula. Melepas dahaga setelah sebulan puasa, bermain dipantai mendekat ombak pantai yang bergulungan "ingat protokol kesehatan, tetap pakai maseker, jaga jarak dan selalu cuci tangan setelah beraktivitas, tidak boleh sampai palung laut berbaya" peringatan beberapa petugas bpbd, kepolisian dan tentara juga relawan dikerahkan pagi ini.

Dok.pri
Dok.pri
Kecerian semu "kata kakak padaku. "Kita butuh hiburan kak setelah semua ini " jawabku singkat. Seperti laron yang mengerubungi lampu di pantai ini semua bahagia walau entah nanti akan ada penyebab baru penyebaran virus laknat ini.

Sepertinya kita harus punya niat lain untuk damaikan diri dengan virus ganas ini dimulai dari diri sendiri itulah kunci sebenarnya, penguasa hanya carikan vaksin, buat undang-undang dan sediakan fasilitas kesehatan.

Anak-anak ceria

Lihatlah di pantaiku
Pasirnya hitam
Tersapu indahnya gelombang pantai selatan
Ingin rasanya mengadu pada gelombangmu
Walau sendu
Semua bagai saksi hidupku

Aku tulis sebait puisi di buku tulisku aku masih berpikir keras mengapa kakak kenal dengan anak juragan ikan itu.

 Kakak diam kadang hanya seulas senyum dan selalu tundukkan kepala merendah seperti bapak dulu yang pernah punya kapal besar dan tetap rendah hati sampai musibah itu merenggut semua cita dan cinta kami. Bapak selalu menolak untuk di ikutkan kapal besar mengarungi samudera alasannya simpel sudah tua. 

Padahal aku tahu bapak pengen sekali melaut lagi tetapi rasa bersalah bapak terlalu besar dan rasa tanggung jawabnya itulah yang sekuat tenaga semua barang dan sepetak lahan rumah kami dijualnya untuk mengobati anak buah kapalnya dan memberi uang duka bagi sebagaian anak buahnya yang meninggal dalam kejadian itu.


Bapak tidak malu kerja dipabrik pengolahan ikan walau dulu pernah jadi juragan kini kami hidup apa adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun