#Sayyid Jumianto
"Saiki isone gawe trasi karo mepe iwak teri wes syukur nduk" kata simbok mendengar keluhan anak perempuannya yang menginjak remaja. "Corona ini sebakan berubah total" keluh gadis manis yang besok sudah masuk sekolah menengah atas itu.Â
Pandemi ini membuat semua seakan terhenti, waktu semakin sempit pesisir ini jadi wakil kesedihannya."bapakmu wes suwe  nganggur, sekarang jadi buruh dikota juragane ora wani resiko nggolek iwak" kata simboknya lagi pagi ini.
 Anak perempuan itu membolak balikan hp lama yang masih di gunakan untuk memperlancar sekolahnya hp jadul yang diperolehnya susah payah di pasar loak demi dapatkan kuota gratis dari program pemerintah. Simboknya masih disampingnya sambil tangannya menumbuk trasi di lesung kecil itu.
"Kalau mau lanjut sekolahnya bilang bapakmu nduk" katanya lagi penuh tanya pada anaknya bungsunya itu. "Aku tidak seperti mba jadi buruh di pengalengan ikan mbok" jawabnya spontan. "Arep dadi juragane po?" Tanya mboknya penuh selidik padanya.
Kemiskinan
Deraan hidup kadang semakin menjadi lihatlah kebanyakan kampumg nelayan miskin tidak kaya, benar-benar miskin termasuk miskin infrastruktur dan sarana pendidikan.
Mau jadi juragan bagaimana kalau kapalnya cuma pinjam pada orang kaya yang monopoli kapal, jaring, sampai hasil tangkapanpun harus di setor dan dihargai sesuai selera sang juragan ironis tetapi nyata juga jebakan renternir dan bang titil yang bunganya kadang cekik lehernya.
Ketika pemerintah buka akses pendidikan lebar dan gratis dan juga infrastruktur jalan tol yang bagus dan lancar, tampak sekali masih kecilnya di pesisir pantai sekarang
Pesisir pantai penuh kenangan yang tidak bisa dia tinggalkan karena harus bekerja keras untuk bisa "hidup enak dan mulia". Karena waktu harus dikendarai bukan di jauhi, pesisir yang indah kala sunset dan sun rise di lihat wisatawan orang-orang kota yang berduit duduk makan minum dilapak kedai angkringan sementara tidak tahu bahwa ada lapar diantara orang-orang bercanda nikmati sore atau nikmati pagi dipesisir biru ini.