Konsistensi berpolitik semakin pudar "ojo  koyo gajah ngidak rapak"Â
Alsayyid jumianto
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang amanah dan tidak melanggar aturannya sendiri dan tidak memaksakan kehendak diri, melanggar aturan sendiri yang  disepakati bersama  arti bebas dari tulisan jawa itu seyogyanya kita bisa berkaca lagi, sekali lagi di masa masih pandemi wabah covid korona  semua bisa  ikut aturan yang ada.
Ketika HRS yang menolak sidang online karena kerumunan massa  yang dilakukan seyogyanya aparat penegak hukum lebih arif, toh semua bisa di jalankan dengan protokol kesehatan yang baik bisa saja sidang offline tidak usah memaksakan kehendak sekali lagi bisa jadi aturannya lebih luwes karena ini masalah keadilan, inilah salah satu contoh "penegakan hukum" yang di paksakan keapda seorang tersangka HRS yang nota bene adalah "punya pengaruh" inikah yang di takuati pemerintah saat ini? Atau ada apakah ini ?' waktu yang akan menjawab.
Saya tidak akan membandingkan kasus HRS ini dengan beberapa pelanggaran" penumpulan" banyak orang yang di bela mati-matian karena ketidak mampuan protokolerlah, karena spontan, saya tidak akan menyebutnya tetapi apakah begini akhirnya  mereka yang buat aturan  melanggar sendiri adalah nyata ketika orang lingkar istana merebut  dan di tasbihkan menjadi ketua umum sebuah partai, padahal beberapa hari sebelumnya  berucap tidak mau mengurusi kasus partai yang sekarang di kangkanginya dan menjadi ketua umumnya ( lihat dan belajar dari kudeta Staf KSP terhadap Partai Demokrat) inilah ketidak konsistenan ucapan politisi  dengan kenyataan yang di lakoninya.
Ranah nasional adalah contoh nyata yang bisa diakses di bergai platform media dan juga masih ramai di ranah medsos adalah suasana bahwa semakin mudahnya seseorang tidak berkeringat bisa jadi ketua umum sebuah partai poliik karena faktor dana dan juga faktor kedekatan dengan lingkar istana dan juga kenekatan karena sebab jabatan yang di embannya.
Sebaiknya kita tidak usah terpana dan juga tidak usah kaget dengan segala situasi ini ,karena tahun 2021 ini adalah tahun konsilidasi, tahun mencari tunggangan dan pengaruh demi  tahun depan tepatnya tahun 2022 sebagai batu loncatan di tahun 2024  akan banyak politikus karbitan dan  purnawiran  yang akan tampil, mantan pejabat yang tidak puas di era dulu  juga akan tampil,  berani karena dana, duit, dan berani bermuka tebal menghalalkans egala cara mencari kursi dan juga nasi itu bisa jadi dari orang biasa yang mandi kringat karier di parpol, tetapi yang menyakitkan adalah kader-kader karbitan yang entah mengapa  kok dari lingkar-lingkar istana dan juga faktor D kedua yakni faktor kedekatan dengan pejabat tertentulah sehingga misi mereka berhasil karena itulah  mereka mendekatkan diri pada pengusa sekarang dan "mencuri  dengar kebijakan dan langkah strategis dari penguasa saat ini, maka mereka inilah yang memanfaatkan keadaan ini demi kuasa dan kekuasaan yang akan datang.
Ketika semua  bisa di bicarakan mengapa harus "gontokan" secara politis mencari legitimasi yang hanya satu  yang punya  yakni pemerintah saat ini karena penguasa bisa saja berbuat  untuk menertibkan dan menegakkan hukum termasuk membatasi  komentar di media massa dan media sosial adalah nyata adanya itulah yang kini  di jalankan.
Walau akhirnya kita tahu pemerintahlah yang biasanya tarik ulur suatu aturan atau menjadi penyebab rakyat mengkritisnya taruh seperti di bukanya investasi minol dan akhirnya di cabut lagi berdasar perpres inilah  uji coba yang pahit dan membuat rakyat prehatin trial by eror seperti UU Omnibus law yang begitu banyak memakan korban jiwa dan raga rakyat itulah "uji coba "yang  tidak  perlu adanya.
#ojo koyo gajah ngidak rapak
#analisis terkini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H