Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Kritik, Membentur Tembok Kekuasaan

25 Februari 2021   22:08 Diperbarui: 25 Februari 2021   22:25 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jalan kritik, membentur tembok kekuasaan


: alsayyid jumianto


Pemerintah butuh kritik kata-kata seorang presiden demi "hidupkan lagi" peta perpolitikan yang lesu darah terkena pandemi korona. Momentum kritisi itu terjadi dan viral di medsos dan media massa arus utama ketika presiden membuat kerumunan du NTT kujungan kerja yang membuat penyambutan massa yang mirip waktu HRs yang sudah dikandangkan itu benar-benar terjadi.

Semua kritikus mendesak harus diusut karena melanggar prokes tetapi tahukah kita bahwa pejabat di lundungi uu dan hukum selaku jabatan yang diembannya? Itulah perbedaan kita dengan mereka dan kerumunan itu tidak melanggar prokes dan sifatnya adalah massa spontan diluar protokoler.

Prokes untuk siapa?

Pertanyaan yang menggelitik nurani kita jelas ketika orang biasa ngunduh mantu di bubarkan dan warung angkringan ditutupp aksa.

Semua harus patuh pada prokes dan itulah saat ini demi kesehatan bersama dan menghindari virus ini.

Pandemi ini memang belum berakhir tetapi fanatikan politik masih gampang tersulut, meruncing dan inilah yang buat tidak sehatnya iklim kritik mengkritik dan kritis pada penguasa saat ini.

Pemicunya adalah keterlanjuran istilah dilarangnya kerumunan massa inilah yang membuat harusnya kita sadar bahwa semua itu demi kesehatan bersama dan bukan demi alasan politik tertentu itulah yang harus kita mengerti secara mendalam istilah ini sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun