Jalan kritik, membentur tembok kekuasaan
: alsayyid jumianto
Pemerintah butuh kritik kata-kata seorang presiden demi "hidupkan lagi" peta perpolitikan yang lesu darah terkena pandemi korona. Momentum kritisi itu terjadi dan viral di medsos dan media massa arus utama ketika presiden membuat kerumunan du NTT kujungan kerja yang membuat penyambutan massa yang mirip waktu HRs yang sudah dikandangkan itu benar-benar terjadi.
Semua kritikus mendesak harus diusut karena melanggar prokes tetapi tahukah kita bahwa pejabat di lundungi uu dan hukum selaku jabatan yang diembannya? Itulah perbedaan kita dengan mereka dan kerumunan itu tidak melanggar prokes dan sifatnya adalah massa spontan diluar protokoler.
Prokes untuk siapa?
Pertanyaan yang menggelitik nurani kita jelas ketika orang biasa ngunduh mantu di bubarkan dan warung angkringan ditutupp aksa.
Semua harus patuh pada prokes dan itulah saat ini demi kesehatan bersama dan menghindari virus ini.
Pandemi ini memang belum berakhir tetapi fanatikan politik masih gampang tersulut, meruncing dan inilah yang buat tidak sehatnya iklim kritik mengkritik dan kritis pada penguasa saat ini.
Pemicunya adalah keterlanjuran istilah dilarangnya kerumunan massa inilah yang membuat harusnya kita sadar bahwa semua itu demi kesehatan bersama dan bukan demi alasan politik tertentu itulah yang harus kita mengerti secara mendalam istilah ini sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H