Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup seperti Apa Adanya sebagaimana Adanya: Bagian Ke-2

10 Februari 2016   10:33 Diperbarui: 15 Februari 2016   12:59 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Andy Laksmana Sastrahadijaya

 

Dengan tanpa bermaksud menyanjung diri sendiri, artikel lama saya ini (http://www.kompasiana.com/als/hidup-seperti-apa-adanya-sebagaimana-adanya_54f7525ba3331184358b4580) sungguh masih relevan sampai saat ini dan entah sampai kapan lagi sehingga sungguh layak untuk dibuatkan sambungannya.

 

Takdir itu adalah Seperti Apa Adanya sebagaimana Adanya

 

Marilah kita mengkaji makna ‘takdir’ seperti yang termuat dalam AQ sbb: "Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]:38). Takdir “Matahari beredar di tempat peredarannya” sungguh menggambarkan keadaan apa adanya sebagaimana adanya. Ayat lainnya: Fushshilat (41):11 yang melukiskan makna ‘takdir’ lainnya "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya." Jagat raya alias alam semesta ini tidak punya pilihan lain kecuali menjalani ‘takdir’nya, yakni bekerja seperti apa adanya sebagaimana adanya, di sini saat ini. Demikian pula tanaman, hewan, dan manusia, mereka sebenarnya dan pada kenyataannya tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjalani takdirnya pada setiap saat. Namun manusia adalah makhluk yang antara lain memiliki kemampuan untuk berpikir dan merasakan. Dan sayang seribu sayang, pikiran dan perasaan sebagian besar manusia itu terkondisi berat dengan ajaran keliru dan menyesatkan bahwa manusia itu memiliki ‘kemauan bebas’ yang berkuasa melawan ‘takdir’ yang secara malu-malu lalu dimaknai sebagai ‘nasib.’ Apakah akibatnya jika manusia menjalankan kemauan bebas yang sebenarnya ilusif dan khayali ini? Ia tidak HIDUP di sini pada saat ini seperti apa adanya sebagaimana adanya; ia melarikan diri dari kenyataan dan berusaha menghindari segala sesuatu yang sebenarnya tidak terhindarkan (silakan baca keterangan singkatnya dalam artikel bagian pertama.)

 

Keterangan dalam Kata-Kata tidak Pernah menjadi Sesuatu yang Diterangkannya

Seperti yang telah saya jelaskan secara singkat dalam artikel berjudul: Kata-Kata Bukanlah ‘Benda’nya--http://www.kompasiana.com/als/kata-kata-bukanlah-benda-nya_54f67cbaa3331137028b4d4c--(jangan lupa simak pula Bagian Keduanya--http://www.kompasiana.com/als/kata-kata-bukanlah-benda-nya-bagian-dua_54f414897455137d2b6c8615), semua yang sedang kita lakukan di sini saat ini sebenarnya menerangkan keadaan ‘apa adanya sebagaimana adanya,’ yang benar-benar sedang terjadi. Tidak terdapat kejadian jenis lainnya (‘what was’ atau ‘what should be’). Sekarang cobalah amati apa yang sedang Anda kerjakan di sini saat ini: Anda sedang membaca tulisan ini pada layar monitor kompie atau HP Anda, Anda dapat merasakan diri Anda sedang melakukan tindakan itu, merasakan seperti apa adanya sebagaimana adanya, Anda tentu saja dapat menerangkan kepada orang lain apa yang sedang Anda kerjakan itu, tetapi keterangan itu sama sekali BUKANlah keadaan di sini saat ini itu sendiri. Kata-kata tidak pernah menjadi ‘benda’nya.

Pikiran Murni dan Pikiran Penuh Noda Keterkondisian

Pikiran murni bekerja secara sepenuhnya hanya ketika ia sedang diperlukan untuk berfungsi, misalnya ketika sedang mengerjakan soal matematika, fisika, ekonomi, atau mata pelajaran apa saja lainnya; ketika sedang bernegosiasi dengan rekanan dagang, memimpin rapat divisi perusahaan yang Anda pimpin; sedang menyajikan proposal pengajuan kredit usaha di hadapan pejabat bank, dsb., dst. Sayangnya pikiran murni ini hanya bekerja pada diri orang arif dan terkadang pada diri orang yang sedang menuju titik kearifan. Pikiran sebagian besar manusia adalah penuh dengan noda keterkondisian atau kebebanpengaruhan. Pikiran murni yang mendasarkan dirinya pada kesadaran murni ketika orangnya sedang berjalan-jalan akan menikmati keadaan ‘apa adanya sebagaimana adanya’ di sini saat ini, seperti misalnya menikmati cahaya matahari, pepohonan, atau apa saja yang ditemuinya di jalan. Pikiran murni tidak dalam keadaan aktif menamai setiap keadaan atau kejadian. Ketika sekerumunan orang sedang melewati jalur perjalanan orang arif yang berpikiran murni, tubuh orang arif itu tidak akan berbenturan dengan tubuh orang-orang itu karena tubuhnya secara otomatis akan menghindari tubuh mereka atau tubuh mereka secara ajaib akan mengihindari tubuhnya. Sebaliknya, pikiran orang pandir yang terkondisi berat akan selalu mengoceh sendiri ketika seharusnya ia bergembira ria menikmati keadaan di sini saat ini; misalnya, ketika melewati seorang remaja putri berjilbab bergandengan tangan secara mesra dengan pemuda sebaya bergaya K-pop, yang bermata sipit dan berkulit langsat pula, pikirannya segera menyahut dengan ‘ocehannya sendiri’ mengenai ajaran agamanya yang begini dan begitu, si Muslimah itu mestinya begini dan begitu; dan tanpa disadarinya ‘gedubrak’ ia menabrak angkringan tukang sate yang sedang berpapasan secara berlawanan arah dengannya.

Kecerdasan Hidup seperti Apa Adanya Sebagaimana Adanya

Mengapa orang arif yang berpikiran murni seperti yang dicontohkan di atas, dengan tanpa daya upaya sama sekali, dapat terhindar dari benturan tubuh orang-orang yang berpapasan dengannya sedangkan orang yang terkondisi berat pikirannya itu menabrak atau ditabrak oleh angkringan tukang sate itu? Bila Anda merupakan penggemar film serial ‘Star Wars,’ ketahuilah wahai kawan bahwa ‘the Force’ selalu menyertai orang arif itu secara aktif dan tidak demikian halnya dengan orang yang menabrak angkringan orang Madura itu. ‘The Force’ secara bawaan selalu menyatu secara aktif dengan orang arif pada setiap saat dalam kehidupannya sehari-hari sehingga ia mampu hidup berbahagia tanpa beban psikologis apapun; sedangkan sebaliknya orang dengan pikiran penuh dengan muatan keterkondisian itu menanggung banyak penderitaan batin dan fisik dalam kehidupan sehari-hari tanpa pernah mencicipi kebahagiaan sejati; bahkan kegembiraan permukaan pun hanya melewati hidupnya secara sekilas-sekilas saja bagaikan angin mamiri di tepi pantai. (Bersambung)

Rujukan: Bagian Pertama (http://www.kompasiana.com/als/hidup-seperti-apa-adanya-sebagaimana-adanya_54f7525ba3331184358b4580); Kata-Kata Bukanlah ‘Benda’nya (http://www.kompasiana.com/als/kata-kata-bukanlah-benda-nya_54f67cbaa3331137028b4d4c); Bagian Keduanya (http://www.kompasiana.com/als/kata-kata-bukanlah-benda-nya-bagian-dua_54f414897455137d2b6c8615).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun