Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagian Keempat: Rangkuman Artikel Trilogi

26 Mei 2013   15:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:00 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Dalam bagian pertama dari artikel trilogi ini penulis menekankan perbedaan dari “kenyataan” anggapan dengan kenyataan. Bila kita sedang menderita di dunia ini, penderitaan kita itu adalah kenyataan di sini pada saat ini, sedangkan pelipur lara bahwa kita akan masuk surga di alam akhirat nanti adalah “kenyataan” anggapan. Menerima dan menyadari fakta bahwa suatu sistem kepercayaan adalah suatu “kebenaran” anggapan adalah menerima dan menyadari kenyataan di sini pada saat ini, dan menolak fakta atau aktualitas itu adalah melarikan diri dari kenyataan, dan membohongi diri sendiri dengan “kenyataan” anggapan. Seperti yang telah penulis uraikan di sini, “kenyataan” anggapan ini dilahirkan dari dan dipelihara oleh rasa takut. Karena rasa takut dalam mengakui dan menyadari fakta bahwa sistem kepercayaannya sekarang ini hanyalah merupakan “kebenaran” anggapan alih-alih kebenaran sejati, orang yang bersangkutan melekat pada “kenyataan” anggapan itu dan menganggapnya sebagai suatu fakta. Rasa takut yang merupakan biang kemelekatan pada “kenyataan” anggapan ini saling menyuapi energi dan dengan demikian saling menguatkan. Sebagaimana yang pernah penulis nyatakan, rasa takut akut dan keterikatan pada “kebenaran” anggapan ini menjadi bersifat patologis dalam diri orang yang bersangkutan dan selalu ditemani oleh berbagai sifat patologis lainnya seperti rasa tidak percaya diri, gemar melarikan diri dari kenyataan, suka berbohong, suka munafik, penuh dengan kebencian, kebodohan, berprasangka (buruk), suka mencurigai orang yang tidak sepaham, suka menghakimi orang lain yang tidak sejalan, dsb., dst.” Kenyataan ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari orang yang bersangkutan.

Oleh sebab itu sangat pentinglah bagi kesehatan kejiwaan kita untuk mengakui dan menyadari bahwa sistem kepercayaan yang kita anut sekarang ini adalah “kebenaran” anggapan. Dengan demikian, selain terhindar dari perangkap maut dari rasa takut patologis berikut sifat-sifat turunannya itu, timbullah dari dalam diri kita rasa toleransi sejati terhadap sesama manusia yang memeluk atau menganut sistem kepercayaan yang lain dari sistem kepercayaan kita karena kita sama-sama menyadari sepenuhnya bahwa kebenaran kita dan kebenaran mereka pada hakikatnya merupakan “kebenaran” anggapan berdasarkan sistem kepercayaan atau agama kita dan mereka masing-masing. Dalam diri kita tidak terdapat lagi klaim kebenaran tunggal dan absolut terhadap agama kita masing-masing. Kita dan mereka sebagai sesama manusia dapat hidup bersama di dunia ini dengan penuh kedamaian tanpa kebencian terhadap satu sama lainnya karena kesadaran terhadap fakta yang tidak terbantahkan itu.

Sebaliknya, mereka yang tidak meresapi dan menyadari fakta mengenai “kebenaran” anggapan ini akan terjerumus dalam situasi dan kondisi seperti yang secara singkat diuraikan dalam Bagian Kedua dari serial trilogi ini, yakni menjalani hidup sehari-hari dengan penuh peniruan dan kepalsuan sehingga menjauhkan diri dari penghayatan hidup sehari-hari yang semestinya penuh dengan kesegaran, kebaruan, kegembiraan, dan kreativitas. Tentu saja, sebagaimana segala sesuatu yang terjadi di dunia yang bersifat relatif ini, meskipun menghayati hidup sehari-hari dengan penuh peniruan, dampak patologisnya, khususnya terhadap orang lain, akan banyak berkurang jika yang ditiru-tiru itu adalah semua bagian yang baik-baik saja. Meniru-niru perkataan, sikap, dan perbuatan dari orang lain, meskipun terdapat idealisasi dan idolasisasi orang yang bersangkutan tidak akan membahayakan orang lain kecuali kesehatan psikologisnya sendiri seperti yang sudah sering kita temukan dalam kehidupan mereka yang meniru-niru.

Manusia yang secara genetik tersusun dari kode genetik sendiri-sendiri yang diturunkan dari susunan DNA orangtua dan kakek-nenek sendiri-sendiri tentu memiliki pembawaan secara individual pula. Lalu, dengan segala faktor bawaan unik ini kebanyakan manusia juga dibesarkan di keluarga sendiri atau mereka yang tidak beruntung dibesarkan oleh orang selain orangtuanya sendiri, dan mereka yang lebih tidak beruntung lagi dibesarkan oleh orang lain dengan tanpa atau sedikit curahan kasih sayang dari orang yang membesarkannya. Orang per orang menerima pengondisian atau pembebanpengaruhan sendiri-sendiri sesuai dengan lingkungan hidupnya secara individual. Dengan demikian, kita dapat mengetahui dan menyadari bahwa masing-masing manusia itu secara ideal memang terancang secara alami untuk menghayati hidup ini secara unik dengan berbagai bekal kehidupan yang bersifat unik itu. Seandainya mereka memeluk suatu sistem kepercayaan atau ajaran kerohanian atau spiritualitas yang sama, masing-masing orang idealnya melakukan berbagai penyesuaian terhadap penghayatannya terhadap ajaran yang sama itu agar perjalanan kehidupannya di dunia ini tidak terdapat banyak gangguan yang tidak diperlukan, khususnya gangguan psikologis karena orang-orang unik mesti menuruti ajaran kehidupan yang seragam tanpa perubahan titik-komanya sekalian.

Bagian ketiga membahas masalah pengatribusian. Pengatribusian yang tepat atau benar ialah mengatribusikan suatu kejadian atau akibat pada penyebab yang sebenarnya atau sesuai dengan kenyataannya. Sebaliknya, penyalahatribusian atau pengatribusian yang keliru ialah mengatribusikan suatu peristiwa atau akibat pada bukan penyebab sebenarnya yang menuruti suatu khayalan atau “kenyataan” anggapan atau bahkan suatu fabrikasi disengaja demi menjaga kepentingan pribadi tertentu. Jika kita terbiasa mengatribusikan suatu hal pada penyebabnya yang nyata atau sebenarnya, kita akan semakin terampil mendeteksi penyebabnya sehingga jika memungkinkan kita dapat menghindari akibat negatif yang ditimbulkan penyebab itu. Orang kebanyakan pada umumnya tidak mengetahui penyebab sebenarnya dari akibat atau pengalaman yang dihayatinya sehingga pengalaman buruk itu pun berulang-ulang menimpa dirinya, padahal ia sebenarnya dapat menghindari kemalangan itu jika mau menyelidiki yang menemukan faktor penyebab sebenarnya.

Misalnya kita mengalami gejala-gejala antara lain merasakan nyeri berulang-ulang pada persendian kita pada pagi hari saat bangun tidur dan pada waktu malam hari dengan disertai rasa linu, ngilu, kesemutan, dengan bagian persendian membengkak dan meradang berwarna kemerahan. Dengan bertanya-tanya kepada mbak Google (atau bertanya kepada dokter yang memeriksa kita) kita akan diberitahu bahwa penyebabnya ialah menumpuknya zat purin di dalam tubuh secara berlebihan dan zat purin ini selanjutnya diolah oleh tubuh sehingga menghasilkan asam urat, namun karena produksi asam urat dalam tubuh terlalu berlebihan maka berakibat gangguan pada ginjal yaitu ginjal tidak dapat mengeluarkan asam urat secara baik sehingga asam urat yang berbentuk kristal akan menumpuk di bagian persendian, dan berakibat terjadinya rasa nyeri di bagian sendi, bengkak dan juga meradang itu. Lalu, kita tentu akan menyelidiki penyebab lebih lanjut: apa yang menyebabkan tertimbunnya asam urat dalam tubuh kita dan ternyata apa yang kita makan sangat menyumbangnya, antara lain: Makanan jeroan: hati, otak, babat, dsb; daging: sapi, kuda, kambing; ekstrak daging: dendeng dan abon; seafood: kepiting, cumi-cumi, kerang, sotong, udang, dsb; makanan kaleng: sarden, kornet sapi, dll; buah-buahan: nanas dan durian; sayuran: bayam, buncis, kembang kol, kangkung, dll; kacang-kacangan: kacang tanah, tauge, kacang hijau, melinjo, emping, termasuk olahannya seperti tempe, susu kedelai, oncom, dan tauco; dsb., dst.

Selanjutnya kita tentu akan mencari informasi mengenai akibat lain berlimpahnya asam urat dalam tubuh, yang selain menimbulkan nyeri sendiri juga berpotensi mengakibatkan apa saja. Dan kita pun menemukan bahwa penderita penyakit asam urat juga mengalami penyakit lainnya seperti, diabetes, penyakit gangguan ginjal, dan hipertensi, dan jika penyakit asam urat dibiarkan berlarut-larut dapat menyebabkan terbentuknya batu ginjal, yang berpotensi menyebabkan gagal ginjal. Jadi, sebagai orang rasional dan realistis, selain kita menelan obat pengurang asam urat, kita juga mengurangi asupan segala makanan penyebab asam-urat di atas sebelum penyakit mengerikan lainnya menghinggapi kita.

Pengatribusian yang keliru atau penyalahatribusian menimbulkan efek kebalikan dengan pengatribusian yang tepat. Misalnya, sebagian dari kita sering melakukan pengobatan diri sendiri (self-medication), meskipun kita nyata-nyata bukan dokter. Pusing? Telan obat pusing. Batuk minum sirup pereda batuk. Pilek? Ah, gampang beli saja di warung terdekat obat flu. Karena gejalanya tampak tidak terasa lagi, kita mengira bahwa penyebab penyakit kita telah lenyap pula, padahal bisa saja ia semakin ganas dan imun terhadap jenis obat yang kita telah itu. Lalu, kita sok pintar lagi. Ah, tingkatkan saja dosisnya, yang tadinya menelan satu pil kini dua pil, yang biasanya cukup tiga kali sehari sesuai dengan petunjuk pada kemasan obat, kini meningkat menjadi enam kali sehari, demikian seterusnya. Dan tahu-tahu kita pun mesti dirawat dokter di rumah sakit karena keliru pengobatan dan efek samping dari obat-obatan itu.

Jika kita bertanya kepada orang beragama, siapakah pengarang Kitab Suci yang mereka yakini kebenarannya itu. Kita akan mendapatkan berbagai macam jawaban. Ada yang mendasarkan jawabannya atas penelusuran sejarah, hasil temuan para ilmuwan, dsb. Ada juga yang meyakini bahwa Kitab Suci mereka ini dikarang oleh para pengikut setia perintis utama/pertama agama berdasarkan ilham dari Tuhan. Ada juga yang meyakini bahwa Kitab Suci mereka itu diwahyukan oleh Tuhan kepada Nabi/Rasul mereka lewat perantaraan entitas malaikat tertentu. Sistem kepercayaan zaman modern yang diciptakan oleh Lia Eden, yang jelas sekali belum sempatmenulis Kitab Sucinya sendiri, malah lebih nekad lagi dalam memersonifikasikan Malaikat dan Nabi yang dimaksudkan dalam agama sebelumnya dalam bentuk orang hidup saat ini. Penyalahatribusian model begini menimbulkan pembodohan masal di kalangan pengikutnya yang tidak berpikir dan tidak menyelidiki, selain itu juga menjadikan pembebanpengaruhan dan kemelekatan psikologis yang semakin berat terhadap berbagai hal seperti agama, otoritas agama, Nabi, dan berbagai hal lain yang berkenaan dengan agamanya. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri: apakah kita termasuk orang yang mau berpikir, memertanyakan, dan menyelidiki, ataukah kita termasuk orang yang menerima begitu saja secara membuta dan menuruti segala petunjuk Kitab Suci dan para petinggi agama atau sistem kepercayaan kita masing-masing. The choice is ours!

Bagian Pertama, Bagian Kedua, Bagian Ketiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun