Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Sebagian Orang Beragama Tidak Mengalami Perubahan Positif? — Bagian Kedua: Hambatan terhadap Pemertanyaan

17 April 2013   18:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:02 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Pada bagian pertama artikel ini telah disebutkan bahwa penyebab sebagian penganut agama tidak dapat menikmati manfaatyang dijanjikan oleh agamanya ialah rasa takut yang mencengkam batin sebagian para penganut untuk memertanyakan agama yang dituruti ajarannya sampai titik komanya itu. Padahal keraguan dan pemertanyaan adalah awal dari segala pengetahuan. Dan dengan pengetahuan yang akan terungkap itu melalui pemertanyaan, pengamatan, dan berbagai percobaan ini, para penganut akhirnya akan dapat memilah bagian mana dari ajaran agamanya yang memberinya manfaat dan bagian mana yang akan mendatangkan kemudaratan baik baginya, keluarganya, maupun umat manusia pada umumnya, jika dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di sini dan pada saat ini. Jadi singkatnya, penganut agama yang rasional tentu hanya akan memakai yang bermanfaat dan meninggalkan yang menimbulkan kemudaratan.

Bukanlah hal yang terlalu aneh jika para penganut agama yang tidak merasakan manfaat dari ketaatan membutanya menuruti agama mereka sampai terperinci begitu karena mereka telah mengalami proses pencucian otak atau pengendalian daya pikir yang berjalan sejak mereka berusia dini, khususnya bagi orang Indonesia pada umumnya. Pengondisian yang memerangkap daya pikir dan daya rasa para orang beriman ini dapat berlangsung secara sangat halus sampai dengan yang sangat kasar.Pengondisian yang sangat halus dapat berasal dari orangtua dan sanak saudara yang memang beritikad baik dengan segala niat untuk menyampaikan kebaikan kepada anak-anak dan saudara mereka, sering tanpa disadari bahwa mereka sebenarnya telah melakukan kekerasan psikologis terhadap daya pikir dan daya rasa anak-anak yang akan memenjarakan mereka seumur hidup dalam penjara psikologis. Pembebanpengaruhan yang menuju ujung spektrum ekstrim yang sangat kasar atau pemaksaan dilakukan oleh berbagai petinggi agama yang pada umumnya memang memiliki kepentingan pribadi dan para radikalis agama yang melakukan berbagai teror di masyarat tertentu atas nama ideologi dan ajaran agama tertentu. Untuk dapat memeroleh para ‘pengantin bom-bunuh diri’ yang mereka butuhkan untuk melaksanakan misi dan visi mereka, para perekrut ini memakai berbagai macam teknik pengondisian dari yang sederhana sampai yang canggih sesuai dengan tingkat kecerdasan para calon pengantin maut itu. Kita mesti menyadari juga bahwa pikiran yang terkondisi berat melalui proses pengondisian yang disengaja maupun yang tidak disengaja ini cenderung membenarkan otoritas yang sebenarnya mengeksploitasi dan memerangkap batinnya dalam penjara psikologis yang pada umumnya tidak disadarinya sama sekali. Mereka bahkan cenderung berpikir bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan itu adalah hasil daya upaya pemikiran berakalnya sendiri dan menyangkal bahwa benih pengaruh itu telah ditanamkan sejak usia dini melalui proses pengondisian dan diperkuat dengan daya pikirnya yang telah lumpuh karena kebebanpengaruhan berat itu.

Seperti yang dapat diperkirakan, para petinggi atau otoritas agama dan para pengikut setianya yang daya pikirnya telah mengalami penggerusan kecerdasan menuntut para penganut memertebal iman mereka dan sangat bereaksi negatif terhadap pemertanyaan terhadap keimanan mereka itu.

Para otoritas agama jarang sekali memeroleh mualaf atau para pengikut baru dalam hal agama selain Islam, jika tidak boleh dikatakan tidak pernah, dengan menyajikan berbagai bukti kebaikan agama mereka secara rasional. Alih-alih, mereka kebanyakan menggugah semangat dan perasaan para calon mualaf atau pengikut untuk bergabung dengan mereka dengan janji bahwa mereka akan merasa bahagia dengan berbuat demikian, meskipun hal itu tidak didukung dengan berbagai fakta empiris. Para mualaf lalu diajari untuk memertebal iman mereka tidak dengan pemertanyaan (apalagi pengujian) terhadap keimanannya itu secara terus-menerus, tetapi melalui pendalaman dan penebalan iman, yang dapat didefinisikan sebagai memercayai bahwa sesuatu adalah kebenaran tanpa berbagai bukti yang memadai. Atau dengan kata lain mereka memeluk “kebenaran” anggapan alih-alih menemukan kebenaran sendiri dengan berbagai pemertanyaan dan pengujian empiris.

Menurut akal sehat kita, jika suatu sistem kepercayaan adalah benar dan bermanfaat bagi para penganutnya, jelas sekali ia akan lulus dari pemertanyaan dan pengujian yang diterapkan oleh para penganut kritisnya, dan dengan demikian sewajarlah bila para otoritas agamanya dan para pengikut fanatiknya akan sangat menyambut baik berbagai orang untuk datang dan memeriksa serta memertanyakannya sehingga mereka dapat menemukan sendiri berbagai fakta kebaikan dan manfaatnya. Suatu sistem kepercayaan yang benar dapat dipertahankan melulu hanya dengan pemakaian fakta, tanpa meminta atau memaksa para penganutnya untuk memercayai atau meyakini sesuatu yang sama sekali tidak pernah dialaminya selama hidupnya. Sebaliknya, suatu sistem kepercayaan yang keliru, agar dapat melindungi dirinya sendirinya, kemungkinan besar tidak akan menyemangati para pengikutnya untuk melakukan segala sesuatu yang memungkinkan mereka untuk menemukan kekeliruannya itu. Dan seperti yang dapat kita perkirakan, mereka sangat anti terhadap segala hal yang berbau empiris dalam pemertanyaan terhadap agamanya dan menghindari segala pertanyaan empiris dengan berbagai dalih bahwa para penganut atau orang lain yang memakai metode pemertanyaan sains terhadap agamanya dianggapnya hanya memakai penalaran materialistis yang hanya mengandalkan panca inderanya belaka. Padahal, dalam pembelaan mereka yang mencerminkan keputusasaan, terdapat wilayah ‘abstrak-gaib’ yang tidak tertembus oleh pancaindera. Dan ketika mereka diminta menunjukkan yang abstrak gaib itu kenyataannya seperti apa, mereka biasanya akan mengajukan berbagai argumen yang tidak masuk akal, seperti adanya pendesain alam semesta (meskipun mereka sama sekali tidak dapat menjawab dengan nalar, siapakah lalu pencipta dari desainer ini, ad infinitum) atau mereka akan mengajukan konsep hukum pahala dan hukuman yang katanya mencerminkan keadilan ilahiah, yang pada kenyataannya tidak adil sama sekali: orang berbuat jahat sementara dan terbatas waktunya diganjar di neraka jahanam abadi, dan orang yang dianggap berbuat baik dalam jangka waktu terbatas dihadiahi pahala surgawi abadi yang digambarkan dengan penuh kenikmatan inderawi. Aneh bin janggal ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun